Jumat, 22 Juli 2011

Fokus, Jangan Terbawa Arus Media

Maraknya tersangka koruptor yang melarikan diri ke luar negeri seharusnya menjadi titik perhatian bagi pemerintah. Hal ini sangat utama, karena menyangkut uang rakyat yang dipakai untuk kepentingan pribadi.
Korupsi yang merajalela telah merugikan bangsa Indonesia. Uang yang seharusnya dipakai untuk pembangunan, kesehatan, penegakan hukum dan keadilan, malah digunakan untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Yang paling memprihatinkan kita adalah, pemerintah terlihat seakan tidak serius untuk memberantas korupsi di negeri ini. Menurut saya, ini merupakan suatu kekecewaan mendalam mengingat kondisi Indonesia yang lemah di berbagai sektor, terutama dalam hal kesejahteraan rakyat.

Lemahnya penanganan terhadap koruptor menyiratkan kepada kita semua bahwa konsistensi penegak hukum di negara ini sedang berada pada titik lemah. Lebih dalam kita akan menilai, pihak-phak berwenang terjebak dalam situasi politik pemerintahan. Logikanya, kita semua paham, kepolisian bisa menjaring teroris dalam hitungan hari bahkan jam, namun berbeda dengan koruptor. Perlu jangka waktu yang lama mulai dari tragedi penangkapan, sampai vonis dijatuhkan terhadap sang terdakwa.
Akhir-akhir ini kita selalu terfokus pada satu masalah, yaitu pengejaran Nazaruddin, Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang melarikan diri ke luar negeri setelah di tetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap sesmenpora pada pembangunan Wisma Atlet.
Sampai saat ini Nazar tidak diketahui di mana posisinya. Entah harus dipandang seperti apa, seharusnya saat ini Nazaruddin bisa dipulangkan oleh pihak kepolisian dan kejaksaan, namun pada kenyatannya, penegak hukum kita pun tidak mampu berbuat banyak. Terlebih dalih mereka adalah Nazaruddin tidak bisa dipulangkan karena berada di negara yang tidak terikat perjanjian ekstradisi. Aneh memang, padahal Nazar telah masuk DPO Interpol. Lebih dari itu, sebaiknya kita berpikiran positif terhadap lembaga penegak hukum di negeri ini. Semoga saja, penegakan hukum di negara ini berjalan ideal sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Larinya para koruptor ke luar negeri memang sudah hal biasa, dan bukan merupakan sesuatu yang baru. Kita juga harus ingat, dahulu, Gayus pun bisa melenggang ke Malaysia biarpun dalam penjara, walaupun bukan dalam kondisi melarikan diri. Terakhir, Nunun Nurbaiti, tersangka korupsi yang juga Istri Mantan Kapolri Adang Dorodjatun juga melarikan diri ke luar negeri dan tak tahu di mana rimbanya sampai saat ini.
Koruptor yang pergi ke luar negeri dalam rangka melarikan diri dari kejaran hukum di Indonesia seharusnya disikapi serius oleh semua pihak berwenang. Juga, dalam hal ini kita tidak boleh hanya terfokus pada Nazaruddin, karena Nazar hanya satu dari sekian banyak tersangka korupsi yang melarikan diri ke luar teritorial Indonesia.
Setidaknya ada lebih dari 42 orang tersangka korupsi di negara ini yang melarikan diri ke luar negeri, dan faktanya, sampai saat ini, sebagian besar kasus tersebut hilang ditelan waktu.
Penegak hukum jangan terjebak pemberitaan media yang lebih banyak menayangkan pengejaran Nazaruddin. Media membuat berita tentu saja karena Nazar berulah dan memang seperti meminta perhatian publik. Sementara tersangka korupsi lain yang melarikan diri, tidak pernah muncul sama sekali untuk berkomunikasi lewat media ke Indonesia.
Saya memandang, penegak hukum agak kurang perhatian dan tindakan lanjutnya terhadap tersangka korupsi lain. Padahal jika diposisikan, seharusnya semua mendapat “perhatian” yang sama. Penegak hukum terlihat mengendur dalam upaya memulangkan tersangka korupsi ke Indonesia (untuk seluruh tersangka korupsi).
Bahkan, kejaksaan yang berhak dan termasuk pihak berwenang dalam memulangkan koruptor sekarang sudah tidak terlihat lagi gaungnya. Tim Pemburu Koruptor yang dipimpin Wakil Jaksa Agung Darmono seolah tenggelam dan larut dalam arus pemberitaan media mengenai pengejaran Nazar.
Seharusnya, TPK, tim yang dibentuk sebagai upaya untuk mendudukkan tersangka korupsi di meja hijau ini kembali diminta tanggungjawab dan kinerja mereka, terkait fungsional dan etika profesional TPK itu sendiri.
Menurut saya, bisa saja terduga korupsi yang dari dulu dan sudah lama melarikan diri, telah kembali ke Indonesia, namun karena jarang diekspose media, kasus mereka jadi terlalaikan. Bisa benar namun bisa juga salah.
Ketidakmampuan pemerintah Indonesia untuk memulangkan para tersangka korupsi (tidak hanya Nazar yang sedang hot) mungkin juga terkait rendahnya nilai tawar Indonesia di dunia Internasional, sehingga, walaupun sudah menjadi DPO Interpol, mereka tetap tidak bisa ditemukan.
Solusinya adalah, Indonesia dalam hal ini pemerintah harus membangun konsolidasi dan meningkatkan nilai tawar kepada negara-negara yang diduga tempat bersembunyinya tersangka korupsi dari negeri ini. Dengan tawar banding dan deal-deal yang saling menguntungkan kedua negara, siapa tahu lebih mempermudah pemulangan para koruptor tersebut.
Diplomasi Indonesia dengan dunia Internasional harus diperkuat dan dilakukan secar terus menerus. Hal ini kita anggap sebagai pendukung tindakan penegak hukum Indonesia yang cenderung masih memiliki posisi tawar rendah di dunia Internasional.
Indonesia harus punya wibawa di mata dunia Internasional. Begini, negara yang berwibawa dan disegani, tentu akan dibantu dengan sepenuh hati oleh negara lain. Hal ini menyangkut, negara yang disegani biasanya memiliki hubungan simbiosis mutualisme yang baik antar negara Internasional. Tentu jika Indonesia punya wibawa, akan mendapat perhatian khusus dari negara bersangkutan, tempat penjalinan hubungan diplomatik.
Kuncinya, penegakan hukum terhadap koruptor yang melarikan diri ke luar negeri butuh keseriusan dan kerjasama semua pihak tanpa ditunggangi kepentingan politik. Selain itu, Indonesia juga harus tampil di depan sebagai negara pemberantas korupsi, sehingga, dunia Internasional tahu dan menyegani Indonesia. Harapannya, tentu saja para koruptor bisa dipulangkan.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More