Selasa, 19 Juli 2011

Otoritarianisme di era Demokrasi (Nazaruddin nan Disembunyikan)

Sungguh aneh pemandangan yang ada di Indonesia. Entah memang hanya ada di negara ini, atau rata-rata negara yang sedang bertransformasi sistem akan mengalaminya. Jika kita mengatakan negara ini bersistem demokrasi, maka seharusnya tidak ada yang ditutup-tutupi oleh pemerintah, dan asas keterbukaan harus didukung dengan realisasi, bukan semata wacana.
Konsep yang secara umum dipandang bagus ini (baca: demokrasi) ini telah dilanggar oleh pembuatnya sendiri. Kita semua menghendaki terlepas dari era otoritarianisme, namun sekarnang, demokrasi yang penuh kebohongan ini tak ubahnya dengan zaman otoriter pada masa Soeharto dulu. Bedanya, sekarang tak ada yang mengenal kediktatoran, namun pada prakteknya, demokrasi dijadikan selimut untuk menutupi praktek-praktet semacam itu.

Layaknya negara yang menganut sistem otoritarianisme, kediktatoran, atau monarki, maka masyarakat tidak bisa dengan bebas menanggapi persoalan-persoalan pemerintahan. Hal ini memang berbanding terbalik dengan asas demokrasi yang menghendaki keterbukaan.
Buktinya bahwa negara Indonesia menggunakan demokrasi sebagai kedok adalah, menjamurnya korupsi dan deal-deal politk pertahanan kekuasaan yang erat di kalangan elit. Bagaimana tidak, Century Gate yang telah diputus sebagai suatu penyelewengan oleh sidang paripurna DPR tahun lalu, tak memiliki ujung sampai sekarang. Bahkan Sri Mulyani bisa menjadi pejabat tinggi di World Bank,dan ke Indonesia mendirikan partai Sri. Makanya tak salah dan jangan heran jika ada anekdot Indonesia dijuluki negara eksportir TKI dan Koruptor.

Hangatnya isu Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat menjadi salah satu indikator bahwa kekuasaan itu hanya miliki elit dengan memanfaatkan masyarakat sebagai bagian permainan politik isu. Memang kita ini menggunakan demokrasi dengan kesamaan hak, tapi kita juga dipermainkan oleh penguasa yang menginginkan status qou (sistem otoriter).
Selasa (19/7) Nazaruddin diwawancara eksklusif oleh Metro Tv. Menurut klaim Metro Tv, orang yagn merupakan bagian DPO interpol inilah yang menelepon Metro. Jika dilihat ada keganjilan, sampai saat ini Nazaruddin belum juga ditangkap. Padahal ia sudah didaftarkan sebagai orang yang dicari bersama Nunun Nurbaiti ke Kepolisian Internasional (Interpol). Pertanyaan yang timbul adalah, teroris yang meledakkan bom saja, polisi bisa meringkus dalam hitungan jam, namun Nazaruddin, yang sudah melakukan sambungan komunikasi ke Indonesia, tidak bisa terungkap posisinya sampai sekarang.
Saat diwawancara Metro Tv, banyak sekali petinggi dan pejabat negara yang disebutkan terlibat korupsi. Bahkan, Nazar juga menerangkan ada deal-deal politik antara Anas Urbaningrum dengan Chandra Hamzah. Namun secara spesifik dan eksplisit, Nazar tidak mengungkapkan keterlibatan demokrat di bawah dewan pembina SBY, tapi meghantam Anas pada kongres PD di Bandung.
Nazar mengklaim, dana pembangunan wisma Atlet dan Hambalang mengalir ke kantong Anas saat pencalonan Ketua Umum Partai Demokrat. Selain itu, disebutkan juga perusahaan-perusahaan di bawah Anas yang mengambil tender proyek-proyek dari BUMN. Jika sudah demikian, maka uang rakyat yang berasal dari pajak dan digunakan untuk APBN mengalir ke kantong-kantong PD secara umum dan Anas secara khusus. Setidaknya itulah kesimpulan yang bisa diambil dari wawancara Nazaruddin dengan MetroTv via telepon.
Selain mengungkap korupsi besar-besaran, Nazar juga mengungkap adanya deal politik antara Anas dengan Chandra Hamzah, mantan pimpinan KPK. Kasus ini akan dihentikan penyidikannya oleh KPK dan Chandra akan terpilih lagi jadi Pimpinan KPK pada era selanjutnya. Semua hal itu diakui oleh Nazar.
Setelah Sambungan Jarak Jauh itu, seharusnya polisi bisa langsung menggelandang Nazar ke Indonesia, karena sudah pasti posisi Nazar akan terlacak keberadaannya. Hitungan jam seharusnya Nazar sudah ada di Indonesia.
Tapi justru disinilah menariknya. Nazar seakan tersembunyi ke dasar bumi sehingga tidak bisa ditemukan oleh pihak-pihak berwenang. Kemudian timbul pertanyaan lanjutan yang membuat masyarakat antipati terhadap pemerintah. Apakah pemerintah memang tidak mau memulangkan Nazar? Karena selain posisinya sebagai tersangka, Nazar juga bisa diposisikan sebagai saksi kunci aliran-aliran dana dan praktek korupsi skala besar di negara ini. Ketakutannya adalah, Nazar akan membongkar dan menyebutkan semua nama tersangka koruptor yang dia tidak sukai (mungkin Anas Cs), kemudian, Anas akan membongkar pula seluruh yang terlibat korupsi, hal ini tidak mentup kemungkinan karena Anas berasal dari partai yang berkuasa saat ini, Parta Demokrat.
Jika parta Demokrat terseret secara organisasi sebagai pelaku korupsi, maka mau tidak mau sang Presiden, SBY, pun akan terlibat jerat hukum. Mungkin hal inilah yang menyebabkan sampai saat ini Nazaruddin belum juga bisa dipulangkan. Bisa saja pemerintah mengetahui dimana Nazaruddin, namun sengaja tidak memulangkannya karena takut akan efek bola salju yang akan segera menimpa pemerintah dan koruptor-koruptor negara ini.
Jika sudah begini posisinya, masyarakat hanya menjadi penonton dari berbagai peristiwa yang dibuat oleh kalangan elit. Isu-isu seperti ini harusnya diselesaikan cepat, jika pemerintahan ini adalah good governance. Namun, jika pemerintah sendiri (Kabinet dan DPR) tidak  menghendaki Nazar pulang, maka tamatlah masyarakat Indonesia sebagai media pencitraan dan pembodohan.
Kasus di atas menandakan Indonesia masih menggunakan sistem otoriter yang mementingkan kepentingan dan kekuasaan elit. Walau Berselimut Demokrasi, Kita Memakai Otoritarianisme...

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More