Jumat, 22 Juli 2011

Fokus, Jangan Terbawa Arus Media

Maraknya tersangka koruptor yang melarikan diri ke luar negeri seharusnya menjadi titik perhatian bagi pemerintah. Hal ini sangat utama, karena menyangkut uang rakyat yang dipakai untuk kepentingan pribadi.
Korupsi yang merajalela telah merugikan bangsa Indonesia. Uang yang seharusnya dipakai untuk pembangunan, kesehatan, penegakan hukum dan keadilan, malah digunakan untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Yang paling memprihatinkan kita adalah, pemerintah terlihat seakan tidak serius untuk memberantas korupsi di negeri ini. Menurut saya, ini merupakan suatu kekecewaan mendalam mengingat kondisi Indonesia yang lemah di berbagai sektor, terutama dalam hal kesejahteraan rakyat.

Kemanakah Tim Pemburu Koruptor?

Pada 2004 lalu pernah dibentuk satu tim yang bertugas untuk menangkap para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia. Tim ini dibentuk untuk didayaguna menghadirkan koruptor di pengadilan, dan menyita aset-aset negara yang menjadi harta kekayaan koruptor. Harapannya, supaya tidak ada pelaku korupsi bisa lepas begitu saja dari jerat hukum.
Korupsi di Indonesia seperti sudah mendarah daging, terutama pasca reformasi 1998, dan beralihnya sistem negara kedemokrasi. Korupsi merajelela dimana-mana, mulai dari elit pemerintahan, sampai tingkat kelurahan sekalipun.
Pembentukan lembaga pemerintahan anti korupsi, KPK, Komisi Pemberantasa Korupsi, sedikit banyak dapat membantu menguak daftar pejabat yang terlibat korupsi. Namun pada akhir-akhirnya, lembaga ini pun terseret keranah politik dalam setiap tindakannya. Setidaknya seperti itulah penilaian yang tercitra sekarang. Terakhir kita lihat, tersangka korupsi, Gubernur nonaktif Bengkulu Agusrin M. Najamuddin yang terlibat kasus korupsi, divonis bebas oleh pengadilan. Entahlah, biar masyarakat yang menilai semua keputusan hakim ini.

Selasa, 19 Juli 2011

Otoritarianisme di era Demokrasi (Nazaruddin nan Disembunyikan)

Sungguh aneh pemandangan yang ada di Indonesia. Entah memang hanya ada di negara ini, atau rata-rata negara yang sedang bertransformasi sistem akan mengalaminya. Jika kita mengatakan negara ini bersistem demokrasi, maka seharusnya tidak ada yang ditutup-tutupi oleh pemerintah, dan asas keterbukaan harus didukung dengan realisasi, bukan semata wacana.
Konsep yang secara umum dipandang bagus ini (baca: demokrasi) ini telah dilanggar oleh pembuatnya sendiri. Kita semua menghendaki terlepas dari era otoritarianisme, namun sekarnang, demokrasi yang penuh kebohongan ini tak ubahnya dengan zaman otoriter pada masa Soeharto dulu. Bedanya, sekarang tak ada yang mengenal kediktatoran, namun pada prakteknya, demokrasi dijadikan selimut untuk menutupi praktek-praktet semacam itu.

Senin, 18 Juli 2011

Jendral Hoegeng, Polisi Nan Sebenarnya

Jendral Hoegeng. Bagiku nama ini adalah nama baru. Mungkin karena tidak termasuk dalam pelajaran sejarah di sekolah, atau memang sengaja sosok seperti ini tidak ditampilkan kemuka umum karena bisa menjadi tolak ukur kejujuran bagi pemerintah, aparat, dan abdi negara lainnya.
Jendra Hoegeng merupakan seorang mantan kapolri yang jujur. Jujur dalam bertindak dan melaksanakan tugas. Menjadi polisi bagi Hoegeng bukanlah sebuah pekerjaan, namun pengabdian. Inilah idealnya sifat aparatur negara. Jika aparat negara sudah menganggap aktivitas mereka sebagai sebuah profesi, tentu tujuan pun akan berubah (baca: uang). Menjadi aparat negara tujuan utamanya bukanlah untuk mendapatkan uang, bayaran, atau gaji. Namun, lebih dari itu, seorang aparat negara, pemerintah, harus paham bahwa lakon yang mereka bawakan saat ini adalah sebuah perjuangan demi masyarakat.

Minggu, 17 Juli 2011

Kompas - Negara Bertaburan Lembaga

Indonesia bertaburan lembaga atau komisi negara. Saat ini terdapat 88 lembaga pemerintah nonstruktural, selain 34 kementerian. Jumlah itu belum termasuk 28 lembaga pemerintah nonkementerian, tim, dan satuan tugas yang dibentuk Presiden untuk menangani persoalan tertentu secara ad hoc.
Guru Besar Administrasi Negara dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sofian Effendi, dan dosen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Surabaya, Radian Salman, Sabtu (16/7), secara terpisah mengatakan, jumlah lembaga/komisi negara itu fantastis. Selain banyak, tugas sebagian komisi dan badan negara tersebut juga kemungkinan besar tumpang tindih.
Untuk penindakan korupsi, misalnya, selain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga ada Polri dan kejaksaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga membentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.
Dalam bidang pengembangan wilayah, selain Kementerian Dalam Negeri, ada pula Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, Badan Pengembangan Kawasan Ekonomi Terpadu, dan lebih dari 10 dewan atau badan pengembangan wilayah khusus lainnya.
Menurut Sofian, lembaga nonstruktural dan nonkementerian itu dibentuk karena fungsi pemerintahan semakin banyak. Di sisi lain, tugas pemerintahan ini tidak bisa dilaksanakan kementerian secara menyeluruh.

Ketidakpercayaan rakyat
Pada masa reformasi, ujar Radian, ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga pemerintah sangat tinggi. Untuk berbagai hal, diperlukan lembaga yang kredibel. Saat rakyat tak percaya pemerintahan Orde Baru bisa menegakkan dan menghormati hak asasi manusia (HAM) tinggi, Presiden Soeharto pada tahun 1993 membentuk Komisi Nasional HAM. Namun, kini lembaga yang menekuni HAM, selain Kementerian Hukum dan HAM, bahkan pernah ada Kementerian Negara HAM, juga ada Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Salah satu karakter lembaga nonstruktural/lembaga nonkementerian, lanjut Radian, adalah berkarakter keahlian yang tak dimiliki kementerian serta kenetralan. Masalahnya membesar saat pembentukan lembaga itu kian masif dan tak terkendali. Dasar hukum pembentukan lembaga tersebut juga berbeda-beda.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR A Hakam Naja di Jakarta, Minggu, mengatakan, pada awalnya pembentukan lembaga nonstruktural itu dilatarbelakangi ketidakberdayaan pemerintah yang kehilangan kekuatan setelah Presiden Soeharto turun dari jabatannya pada Mei 1998. Kelemahan pemerintah tersebut memaksa DPR dan kelompok masyarakat sipil mengambil alih peran negara. Setiap ada permasalahan yang menyangkut bangsa dan masyarakat dijawab dengan membentuk komite, komisi, dewan, atau badan di luar pemerintah. Harapannya, lembaga itu dapat menyelesaikan permasalahan bangsa.
”DPR saat itu bersemangat reformasi, mendengarkan keinginan masyarakat. Pembentukan lembaga nonstruktural tersebut sulit dikendalikan,” ujarnya.
Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Ronald Rofiandri sependapat, lembaga nonstruktural dibentuk karena ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga negara yang ada. Lembaga nonstruktural juga dianggap sebagai solusi atas permasalahan bangsa dan macetnya sistem pemerintahan. Faktor lain adalah keterbatasan pemikiran dan imajinasi pembuat undang-undang.
”Mereka berpikir lembaga nonstruktural itu jawaban persoalan sehingga pembentukan lembaga nonstruktural menjadi prioritas yang diatur dalam UU,” ujarnya.
Ronald menengarai, pemerintah sengaja menyerahkan beban tugas dengan membentuk lembaga nonstruktural. Hal tersebut terbukti dengan adanya tumpang tindih tugas serta fungsi lembaga nonstruktural dengan lembaga struktural pemerintahan. Komisi Hukum Nasional (KHN), misalnya, dipersiapkan menjadi konsultan presiden di bidang hukum. Kenyataannya, fungsi dan peran KHN juga dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional. Presiden masih juga membentuk satgas.

Anggaran tersedot
Menurut Deputi Kelembagaan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi Ismadi Ananda, lembaga nonstruktural dibatasi hanya pada lembaga yang dibiayai sepenuhnya dari APBN. Sebagian besar lembaga itu memang dibentuk setelah reformasi. Tiga di antaranya, Komite Inovasi Nasional, Komite Ekonomi Nasional, dan Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, baru dibentuk tahun 2011 ini.
Akibat banyaknya lembaga tersebut, anggaran negara tersedot untuk membiayai mereka. Menurut Ismadi, setiap tahun dialokasikan setidaknya Rp 38 triliun untuk 88 lembaga nonstruktural. Itu belum termasuk anggaran untuk lembaga nonkementerian, tim, dan satgas yang dibentuk belakangan.
Sekretaris Menteri Dalam Negeri Dyah Anggraeni, pekan lalu, di Jakarta, menengarai, lembaga nonstruktural itu juga dibentuk di daerah. Bahkan, sebagian besar APBD juga dialokasikan untuk gaji pegawai lembaga nonstruktural di daerah. Akibatnya, banyak daerah enggan membantu dana untuk lembaga seperti Komisi Pelayanan Publik di daerah.
Masalah serupa, tutur Sofian, pernah dialami Amerika Serikat pada era 1950-1960. Saat itu, dilakukan rasionalisasi. Soal berapa ideal jumlah lembaga nonstruktural diperkirakan tak lebih dari 20 lembaga. Apalagi, masih ada lembaga-lembaga lain.

Seputar Indonesia - Membangun NU yang Mandiri dan Berkarakter

18 Juli 2011

Nahdlatul Ulama (NU) saat ini sedang merayakan hari ulang tahunnya (harlah) yang ke-85. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara khusus menyempatkan diri untuk memberikan selamat pada organisasi massa yang didirikan oleh KH Muhammad Hasyim Asy’ari pada 1926 tersebut.

Kehadiran Presiden SBYdalam harlah NU ini memang bukan hal yang luar biasa.Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia,tentu NU sangat menarik bagi siapa pun,termasuk bagi pemerintah yang saat ini sedang berkuasa.Dukungan warga NU yang jumlahnya jutaan tentu sangat diperlukan untuk mendukung program-program pemerintah.

Terlepas dari hal di atas, kehadiran Presiden SBY sebaiknya jangan hanya dimaknai secara parsial.Bagaimanapun,dukungan positif dari pemerintah bagi kemajuan NU tetap diperlukan.Karena itu,kehadiran Presiden SBY dan sejumlah pejabat pemerintah seharusnya dijadikan momentum bagi warga NU untuk “memanfaatkannya” bagi kemajuan organisasi.

Ingat bahwa umur 85 tahun bukan waktu yang singkat.Dalam rentang waktu yang hampir satu abad ini,NU harus semakin dewasa, berkarakter, dan tentu saja makin mandiri. Kemandirian mutlak diperlukan dalam sebuah organisasi agar menjadi lembaga yang disegani–tidak hanya di forum nasional tapi internasional–dan mampu berbuat lebih bagi kemajuan bangsa.

Yang jelas, dengan kemandirian itu, NU tidak akan mudah dikendalikan oleh orang yang hanya ingin memanfaatkannya demi kepentingan politiknya. Namun perlu diingat, kemandirian ini bukan hal mudah untuk diwujudkan, terlebih dengan masih banyaknya warga NU yang masih terbelit masalah ekonomi dan pendidikan.

Karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi NU untuk terus berbenah memperbaiki seluruh kelemahannya. Berbagai konsep yang ditawarkan sebenarnya sudah sangat baik bila berjalan dengan konsisten.

Misalnya, pembangunan kualitas pesantren serta menumbuhkan jiwa wiraswasta bagi warga NU. Karena itu, dukungan dari semua pihak sangat diperlukan termasuk dari pemerintah. Hal lain yang juga perlu menjadi perhatian NU adalah pembangunan sistem organisasi yang baik mulai tingkat bawah hingga atas.

Kaderisasi pun menjadi perhatian serius bagi keberlangsungan dan kemajuan NU di masa mendatang.Tanpa kaderisasi yang baik,sulit bagi sebuah organisasi untuk berkembang bagus. NU telah memutuskan kembali ke Khitah 1926 pada Muktamar Situbondo, Jawa Timur, tahun 1985.Tekad itu seharusnya bukan hanya menjadi slogan.

Semangat itu harus dimaknai untuk kembali pada cita-cita awal, yaitu memerangi keterbelakangan, baik secara mental maupun ekonomi. Artinya apa? NU memang harus meninggalkan politik praktis. Maknanya bisa dikatakan, NU tidak memihak ke mana-mana tetapi ada di mana-mana.

NU harus mampu menunjukkan kenetralannya dalam setiap langkah. Jangan sampai warga NU dibuat bingung dengan manuver yang dilakukan para petingginya yang terjun ke politik praktis seperti di era sebelumnya. Masih banyak hal yang sangat bisa dilakukan NU untuk ikut membangun bangsa ini.

NU yang memiliki jaringan sangat luas di pesantren-pesantren di pelosok Indonesia punya peran strategis untuk ikut andil dalam memberantas gerakan terorisme. Pluralisme bisa menjadi pijakan awal NU untuk memberikan kontribusi positif bagi pembangunan bangsa.

Nilai-nilai pluralis yang diwariskan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) seharusnya bisa menjadi penghayatan bagi kita semua untuk membangun Indonesia yang memang sangat beragam.

Tantangan ke depan adalah bagaimana nilai, karakter, dan tradisi NU di atas bisa muncul sebagai kekuatan alternatif jika praktik-praktik politik yang ada telah dipandang merugikan bangsa ini.

Media Indonesia - Beratnya Beban Rakyat

HIDUP rakyat di negeri ini adalah hidup yang kian berat. Dari hari ke hari rakyat semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Harga kebutuhan pokok terus melonjak naik. Dalam hal beras, misalnya, semakin banyak rakyat yang tidak mampu membeli beras yang paling murah sekalipun.

Jika harga beras naik, pemerintah gemar melakukan operasi pasar yang sudah terbukti gagal untuk mengendalikan harga. Selain itu, pemerintah kerap mengambil langkah gampangan, yaitu mengimpor beras. Kebijakan beras memang tidak memihak rakyat sendiri, tetapi memihak petani Thailand dan Vietnam.

Pemerintah pun lebih memihak peternak sapi Australia ketimbang peternak sapi yang merupakan anak bangsa sendiri. Kebijakan pemerintah Australia yang menyetop ekspor sapi ke Indonesia karena perlakuan rumah potong di negeri ini tidak mengenal perikehewanan bisa membuat peternak sapi Australia gulung tikar. Perkara itu menunjukkan kitalah yang menghidupi peternak Australia.

Sebaliknya, kita tidak peduli dengan peternak sapi sendiri. Alih-alih mengembangkan pembudidayaan sapi, pemerintah malah mengeluarkan uang besar untuk menyensus sapi di Indonesia.

Selain beras, daging, dan telur yang semakin mahal, garam pun tak lagi murah. Negeri ini pun menjadi pengimpor garam.

Tak hanya harga kebutuhan pokok yang semakin berat bagi rakyat. Kendati konstitusi memerintahkan 20% APBN untuk pendidikan, kenyataannya pendidikan justru semakin mahal bagi rakyat kebanyakan.

Juli ini, misalnya, orangtua harus menyediakan dana besar untuk membayar keperluan sekolah bagi anak-anak. Selain biaya masuk bagi siswa dan mahasiswa baru, orangtua murid masih harus memikirkan biaya buku, seragam sekolah, dan biaya pendaftaran ulang bagi siswa lama yang tahun ini tarifnya naik drastis jika dibandingkan dengan tahun lalu.

Sebentar lagi Ramadan dan Idul Fitri datang. Harga-harga pun akan semakin menggila. Sekalipun hal itu terjadi musiman, pemerintah berkecenderungan kembali gagal mengendalikan harga.

Semua itu terjadi di tengah kemiskinan yang meningkat dan daya beli yang menurun sehingga sebenarnya rakyat tidak merasakan hadirnya pemerintah yang memerintah.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More