Sabtu, 16 Juli 2011

Media Indonesia - Kelaziman Korupsi

SUDAH lebih dari tiga dekade lalu begawan ekonomi Soemitro Djojohadikoesoemo menyebut kebocoran anggaran negara mencapai sedikitnya 30%. Meski begitu, hingga kini sinyalemen itu masih amat relevan, bahkan jumlah kebocorannya amat mungkin lebih besar.
Fakta paling telanjang dari bocornya anggaran terpampang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (13/7). Ketika itu, jaksa penuntut Agus Salim membacakan surat dakwaan atas Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah Muhammad El Idris yang disangka menyogok penyelenggara negara demi memenangi tender proyek Wisma Atlet SEA Games, Palembang, Sumatra Selatan.
Di ruang sidang itu terkuak fakta bahwa korupsi di negeri ini memang berlangsung masif, sistemis, dan struktural. Jaksa mengungkap proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games 2011 benar-benar menjadi bancakan.
Dari total nilai proyek Rp191,6 miliar, sebesar 20,5% (sekitar Rp39,27 miliar) di antaranya dihabiskan untuk memberi pelicin para pejabat. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin disebut menerima jatah 13% atau Rp24,9 miliar.
Selain itu, uang disebut mengalir ke Gubernur Sumatra Selatan Alex Noerdin sebesar 2,5% atau sekitar Rp4,79 miliar. Ada jatah pula untuk mantan Seskemenpora Wafid Muharam sebesar 2% atau sekitar Rp3,83 miliar. Uang juga mengalir dalam jumlah bervariasi ke pegawai hingga tingkat teknis di lapangan. Termasuk ke pengawas proyek di lapangan.
Seperti biasa, mereka yang disebut menerima jatah pelicin ramai-ramai membantah. Pengakuan justru muncul dari seorang pelaksana teknis lapangan yang 'hanya' menerima Rp20 juta, dan uang itu pun sudah dikembalikan ke negara.
Dakwaan di ruang sidang itu memberi gambaran kuat kepada kita bahwa korupsi sudah menjadi kelaziman, bukan lagi kezaliman. Itu sekaligus menunjukkan khotbah pemberantasan korupsi yang digemakan dari waktu ke waktu tidak menuntun pejabat kita untuk meninggalkan perilaku amat jahat tersebut. Kasus Wisma Atlet diyakini bukanlah kasus tunggal. Hal serupa terjadi di hampir segala lini proyek di negeri in
Tidak mengherankan jika banyak kualitas hasil proyek untuk publik di negeri ini dikorbankan demi mengongkosi kerakusan pejabat. Jalan raya yang rusak saban tahun kendati terus diperbaiki saban tahun pula merupakan salah satu contoh.
Karena itu, kasus bocornya dana proyek Wisma Atlet mestinya menjadi titik tolak bagi negeri ini untuk mengakhiri laku jahat korupsi. Kalau tidak saat ini, tinggal menunggu waktu bagi bangsa ini menuju negara gagal.
Negeri ini cukup kaya untuk menyejahterakan 241 juta rakyatnya, tapi tidak akan pernah cukup untuk menghidupi segelintir orang yang tamak dan rakus.

Kamis, 14 Juli 2011

Kompas - Menjarah Dana Proyek

Keterlaluan! Itulah reaksi spontan membaca dakwaan Mohammad El Idris, terdakwa korupsi pembangunan wisma atlet. Uang rakyat jadi rebutan!

Apa yang tertera dalam dakwaan jaksa pebisnis El Idris dalam kasus suap wisma atlet itu memang masih harus dibuktikan kebenaran hukumnya di depan pengadilan. Namun, paparan data aliran uang tersebut—yang tentunya penyidik KPK punya data—amat mencengangkan! Itu semua harus diungkap!

SEA Games Ke-26 di Jakarta dan di Palembang menjadi kehilangan legitimasi ketika terungkap bagaimana dana pembangunan wisma atlet dikorup. Dari data tersebut terungkap, hampir 20,5 persen dari dana proyek Rp 191,6 miliar atau senilai Rp 39,25 miliar dihabiskan untuk fee. Disebutkan jaksa, politikus Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, yang kala itu anggota Komisi III DPR yang membidangi masalah hukum, bisa ikut serta mengurusi proyek pembangunan wisma atlet dan memperoleh komisi 13 persen! Dana tersebut pun mengalir hingga ke daerah.

Kejadian itu menunjukkan bahwa tata aturan telah diinjak-injak. Bagaimana mungkin seorang anggota DPR yang posisinya sangat terhormat dan menjadi bendahara partai lebih banyak menjalankan peran sebagai calo anggaran atau calo proyek?

Akan tetapi, itu realitas politik Indonesia yang masih dalam proses menuju negara demokrasi yang matang. Sampai-sampai mantan Wapres Jusuf Kalla di Makassar, seperti dikutip media, berkomentar, ”Bukan Menteri Pekerjaan Umum resmi yang mengurus proyek, tetapi Nazaruddin yang menjadi menteri PU.”

Isu kebocoran dana pembangunan itu sebenarnya isu lama. Sinyalemen itu pernah diungkap begawan ekonomi Prof Sumitro Djojohadikusumo dalam Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Ke-13 di Surabaya, November 1993. Kala itu, Sumitro menyebutkan, tingkat kebocoran dana negara mencapai 30 persen. Hampir 20 tahun berlalu, kebocoran anggaran itu masih terjadi! Lalu apa yang kita dapat dan pelajari melalui gerakan reformasi tersebut?

Jika praktik yang terjadi dalam pembangunan wisma atlet itu menjadi gejala umum, bisa dibayangkan berapa triliun uang dijarah penjarah uang negara. Pemerintah memang diharapkan untuk menertibkan percaloan anggaran dan percaloan proyek itu semua, tetapi belakangan kita skeptis pemerintah mampu melakukannya.

Oleh karena itu, peran serta dunia bisnis amat diharapkan. Prinsip good corporate governance harus ditegakkan secara internal ataupun eksternal, komitmen akan pakta integritas antikorupsi harus kembali dibangkitkan. Para penyingkap aib (whistle blower) di dalam perusahaan harus dilindungi. Menunda upaya menerapkan praktik bisnis yang bersih sama halnya dengan bunuh diri pelan-pelan karena persaingan dunia bisnis tidak lagi ditentukan oleh sejauh mana pebisnis efisien dalam menjalankan usaha, tetapi seberapa banyak pebisnis menyuap birokrat untuk memenangi tender!

Reformasi Mesir Sedang Buntu

Aksi protes pecah lagi di Mesir dalam satu pekan terakhir sebagai petunjuk bahwa arah reformasi politik di negeri itu belum jelas dan sedang buntu.

Ribuan demonstran kembali berkumpul di pusat sejumlah kota, termasuk Kairo, ibu kota negara. Mereka menuntut antara lain pemecatan dari pemerintahan dan pengadilan terbuka terhadap semua loyalis mantan Presiden Hosni Mubarak. Tidak kalah kerasnya tuntutan pemecatan dan pengadilan terhadap semua perwira polisi yang dituduh melakukan kekerasan dan penembakan terhadap demonstran dalam pergolakan bulan Februari lalu, yang menjatuhkan Mubarak.

Dewan Agung Militer, yang menjadi penguasa masa transisi, benar-benar direpotkan oleh gelombang demonstrasi yang kembali membesar. Ratusan demonstran sudah memasang tenda di pusat kota Kairo. Kelihatan jelas, Dewan Agung Militer cenderung menahan diri, tak terpancing menggunakan cara represif terhadap kaum demonstran. Sebaliknya dalam upaya meredam kemarahan rakyat, Dewan memecat ratusan perwira dan personel polisi.

Sekitar 700 personel polisi yang dipecat dituduh bertanggung jawab atas kematian 848 demonstran dan mencederai sekitar 6.000 demonstran dalam kerusuhan yang menjatuhkan Mubarak tanggal 25 Februari lalu. Kasus pemecatan itu mendapat apresiasi luas karena dianggap sebagai langkah bersejarah untuk memperbaiki citra polisi, yang memang buruk di mata rakyat Mesir. Lebih jauh muncul desakan agar Kementerian Dalam Negeri, yang membidangi urusan kepolisian, dirombak total.

Tindakan pemecatan terhadap ratusan personel kepolisian ternyata tidak mengurangi secara drastis ketegangan karena Dewan Agung Militer juga menunda pelaksanaan pemilihan parlemen. Semula pemilu dijadwalkan September mendatang, tetapi kemungkinan ditunda ke bulan Oktober atau November. Penundaan tersebut disebut-sebut karena kebanyakan organisasi politik belum selesai melakukan konsolidasi menjelang pemilu.

Hanya Ikhwanul Muslimin disebut-sebut paling siap menghadapi pemilu. Rupanya Dewan Agung Militer khawatir jika Ikhwanul Muslimin, yang dikenal berhaluan militan, mendapat keuntungan dari reformasi politik, padahal kontribusinya tergolong tidak mencolok dalam upaya menjatuhkan rezim Mubarak yang otoriter.

Dewan Agung Militer memang sedang menghadapi dilema. Jelas, Ikhwanul Muslimin tidak bisa dicegah mengikuti pemilu karena tuntutan reformasi mengamanatkan proses demokratisasi yang terbuka untuk semua. Sebaliknya, jika memenangi pemilu secara demokratis, belum tentu Ikhwanul Muslimin dapat memerintah secara demokratis pula. Idealnya, kemenangan pemilu secara demokratis harus dilanjutkan dan diperkuat oleh budaya dan manajemen pemerintahan yang demokratis pula.

seputar-indonesia.com - Butuh Sistem Kerja Birokrasi yang Kuat

Friday, 15 July 2011

Kita prihatin mendengar cerita yang muncul dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Tingginya belanja anggaran untuk gaji pegawai negeri sipil, yang mencapai Rp700 miliar, membuat anggaran untuk sejumlah dinas terpaksa dikurangi.

Dinas Pendidikan yang biasanya mencapai Rp12 miliar per tahun, saat ini menjadi Rp1,1 miliar; kemudian Dinas Pekerjaan Umum biasanya lebih dari Rp70 miliar, saat ini hanya Rp30 miliar. Bahkan untuk menutupi kebutuhan pembiayaan program pembangunan, beberapa aset pemerintah daerah dijual ke swasta.

Ironisnya, kisah seperti ini tidak saja terjadi di Tasikmalaya. Temuan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), 124 kabupaten/kota dari 526 kabupaten/kota se-Indonesia terancam bangkrut. Beberapa daerah itu menuju kebangkrutan karena belanja pegawai di atas 60%.

Sebanyak 16 daerah memiliki belanja pegawai di atas 70%. Jika ini terus-terusan terjadi, akibat buruknya tidak hanya kebangkrutan daerah. Lebih buruk lagi bagi warga masyarakat yang tidak merasakan imbas pembangunan.Bagaimana mungkin pemerintah daerah mampu membangun infrastruktur yang memenuhi kebutuhan warganya jika uang untuk itu tidak ada.

Bagaimana pula pemenuhan kebutuhan pelayanan publik yang bagus jika anggaran minim. Ancaman kebangkrutan daerah ini tidak lepas dari semangat otonomi yang berlebihan.Kondisi tersebut diperparah lagi dengan munculnya desakan warga yang menuntut pemekaran wilayah.

Pemekaran menyebabkan belanja daerah tinggi, sementara pendapatan asli daerah (PAD) belum bisa ditingkatkan.Kemampuan dana alokasi umum (DAU) dari pusat juga masih rendah, sehingga hanya habis untuk belanja pegawai. Dalam situasi tersebut, masih banyak daerah baik daerah pemekaran maupun daerah induk,merekrut pegawai melebihi kebutuhan.

Sebagai solusi atas masalah tersebut, perlu efisiensi dengan menghitung secara proporsional jumlah pegawai sesuai kebutuhan daerah. Perlu pula dipikirkan pola sentralisasi perekrutan pegawai. Pola sentralisasi akan memudahkan dalam penyamarataan pegawai untuk mengisi formasi-formasi yang tidak ada di daerah lain.

Apalagi, selama ini komposisi pegawai sering kali tidak merata. Di satu daerah bisa terjadi kekurangan formasi tertentu, namun di daerah lain terjadi kelebihan tenaga. Penataan distribusi aparatur daerah yang tidak merata bisa dilakukan pemerintah pusat atau provinsi.

Pemerintah pusat juga bisa merevisi alokasi APBD yang dinilai terlalu besar untuk belanja aparat. Bagi solusi ini, kendalanya adalah aturan perundang-undangan yang masih menetapkan kepala daerah sebagai pembina pegawai daerah. Setidaknya, bila kewenangan ini ditarik ke provinsi, gubernur dapat memindahkan PNS antardaerah.

Distribusi PNS dan beban belanja pegawai bisa ditata. Solusi berikutnya yang paling penting adalah komitmen kepala daerah untuk membangun sistem kerja birokrasi yang kuat. Peranan kepemimpinan menjadi faktor yang sangat dominan dalam mendorong reformasi birokrasi.

Reformasi birokrasi membutuhkan kepala daerah yang memiliki visi ke depan. Tindakan-tindakan nyata yang bisa dilakukan adalah pelayanan publik yang bagus, berusaha menciptakan birokrasi yang tidak mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.Cara ini bisa mendatangkan investasi yang berarti pemasukan bagi daerah.

Jangan pula lupa, belajar dari banyak negara lain komitmen reformasi birokrasi harus dimulai dari kepemimpinan nasional.Jika lemah dari sudut ini,jangan harap semua persoalan daerah mudah diatasi.●

mediaindonesia.com - Membongkar Mafia Pemilu Jumat

15 Juli 2011 00.00 WIB
Panja Mafia Pemilu Komisi II DPR semakin mengarah pada sebuah nama, Andi Nurpati. Mantan komisioner KPU yang kini menjadi politikus Partai Demokrat itu terindikasi kuat sebagai aktor penting pemalsuan surat keputusan Mahkamah Konstitusi.
Menurut rencana, hari ini Nurpati diperiksa Mabes Polri sebagai saksi untuk Masyhuri Hasan, juru panggil MK, yang sudah menjadi tersangka. Semua pihak yang bersaksi di depan panja memberatkan Nurpati sehingga panja memperkirakan Nurpati akan menjadi tersangka berikutnya.
Akan tetapi, perlu dipahami bahwa panja ialah forum politik, bukan forum hukum yang berhak menetapkan seseorang menjadi tersangka. Meski demikian, kepolisian bisa menggunakan informasi di panja untuk menetapkan seseorang patut atau tidak patut dijadikan tersangka.
Publik, termasuk media, menaruh perhatian serius dan tanpa putus terhadap kasus ini. Tidak untuk menzalimi seorang Andi Nurpati. Juga tidak untuk mencari-cari kesalahan Partai Demokrat--tudingan yang sering dialamatkan kepada pers akhir-akhir ini--setelah kasus itu bersama kasus Nazaruddin disorot tiap hari.
Korupsi di negeri ini telah melampaui seluruh pagar kepatutan sehingga publik terbengong-bengong mendengar dan menyaksikannya. Tidak berlebihan bila mengatakan inilah negara mafia. Mafia merambat sampai ke badan-badan yang seharusnya menjaga harga diri bangsa.
Kalau lembaga KPU sudah mau memanipulasi keputusan sehingga bisa mengubah orang yang berhak mendapat kursi menjadi tidak berhak, itu kejahatan demokrasi yang luar biasa. Kalau seorang juru panggil MK ikut bermain di situ, itu juga kejahatan. Apalagi kalau hakim pun terlibat.
Kalau oknum KPU manipulatif, kalau oknum MK juga manipulatif, yang dipertaruhkan kredibilitasnya adalah legitimasi pemilu. Bagaimana mungkin sebuah pemilu legitimate kalau dihasilkan melalui proses yang manipulatif?
Di negara lain, pemilu yang manipulatif bisa menganulir pemerintahan. Sebuah partai yang terbukti membiayai diri dari hasil kejahatan korupsi bisa dibubarkan.
Kita tidak menghendaki itu, tetapi sebagai bukti kesadaran bahwa kejahatan pemilu merupakan kejahatan luar biasa, polisi harus menghukum semua yang terlibat dengan adil dan berani. Inilah saatnya kepolisian mengambil kredit bagi kredibilitasnya yang terus merosot.
Yang tidak kalah pentingnya, inilah juga saatnya DPR mengambil poin kepercayaan publik. Jangan sampai nasib Panja Mafia Pemilu sama dengan Panja Mafia Pajak yang masuk angin dan Pansus Century yang berakhir frustrasi.

Setgab Harus Difungsikan sebagai Tempat Kepentingan Koalisi

PAN akan mengambil langkah tegas seperti keluar dari Setgab, jika Demokrat dan Golkar tetap pada sikap mereka yang mementingkan kepentingan partai masing-masing.

Partai Amanat Nasional merasa Golkar dan Demokrat mementingkan kepentingan pribadi di setgab. Hal ini berhubungan dengan masalah penetapan parliamentary Treshold atau ambang batas yang tidak dibahas di sekretariat koalisi. PAN menilai kelakuan Demokrat dan Golkar yang tidak mau membicarakan masalah ambang batas di DPR itu sebagai tindakan yang mementingkan keinginan masing-masing dua partai besar itu.

Permasalahan yang terkait dengan Undang-Undang Paket Pemilu ini, oleh Demokrat dan Golkar merasa tidak perlu dibawa pembahasannya di sekretariat gabungan partai koalisi. Viva Yoga, Tim sukses PAN pada pemilu lalu terdengar menyayangkan hal ini, karena, bagaimanapun koalisi haruslah satu visi dan pandangan. Namun, dalam hal ini, dua partai besar tersebut, dipandang terlalu mementingkan kepentingan pribadi masing-masing partai, karena untuk permasalahan yang besar seperti pembahasan RUU Paket Pemilu, mereka tidak mau untuk membahasnya di sekretarian koalisi, sedangkan setgab hanya diperuntukkan bagi pembahasan masalah-masalah yang remeh temeh.

"Partai-partai besar itu maunya mereka memimpin negara ini sendirian," begitulah ungkapan kekecewaan dari Viva Yoga, kader PAN yang duduk di DPR RI seperti dikutip dari republika.co.id. Masalah ambang batas tadi Demokrat dan Partai Golkar tetap tidak mau menurunkan angka empat dan lima persen.

Sebagai partai yang berkuasa, seharusnya Demokrat menjadi pengayom dalam setgab. Caranya yaitu membawa segala masalah yang ada, baik di parlemen atau pemerintahan untuk dimusyawarahkan di setgab. Jika tidak seperti itu, maka setgab tidak akan berfungsi sebagai tempat bernaungnya para partai koalisi. Begitupun dengan Golkar, sebagai Partai yang sudah lama dan dewasa dalam mengisi lingkup pemerintahan, perpolitikan di republik ini, harus juga menjaga etika-etika politik di setgab. Sehingga, tidak ada lagi sentimen atau kekecewaan dari partai-partai pendukung pemerintah.

Sikap Partai Demokrat dan Partai Golkar yang tergabung dalam Sekretariat Gabungan dan terkesan hanya mementingkan partai sendiri terkait parliementary threshold (PT) atau ambang batas ini di membuat Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa merasa gundah. Hal tersebut disampaikan Viva Yoga di Gedung DPR, seperti dikutip dari metronews.com.

Jika dilihat dari fungsi setgab, maka sikap Demokrat dan Golkar tersebut telah melanggar etika dan kesepakatan bersama sekretariat gabungan. Kebersamaan dan pandangan politik partai-partai koalisi harusnya dijadikan bahan pertimbangan tersendiri bagi Demokrat. Setgab jangan hanya difungsikan ketika demokrat memiliki kepentingan.

Akibat dari timbulnya pandangan seperti ini, bisa mengakibatkan PAN mengambil langkah sendiri. Bahkan, bisa saja PAN akan keluar dari setgab karena merasa suaranya tidak didengar oleh partai berkuasa.

Viva menegaskan, jika Demokrat dan Golkar tetap bersikap seperti itu, dan meninggalkan setgab sebagai tempat pembahasan agenda-agenda partai koalisi baik di parlemen atua pemerintahan, PAN akan jalan sendiri, karena tiap-tiap kasus, konfigurasi Setgab berbeda-beda.

Ketika ada setgab, maka kepentingan partai koalisi harus diutamakan. Contohnya, dalam parlemen, pembahasan mengenai UU Penyelenggara Pemilu, UU politik, Partai Demokrat, Partai Golkar dan PDI Perjuangan bisa jadi satu suara. Namun ketika pembahasan RUU Paket Pemilu, dan Parliamentary Treshold yang nantinya berkaitan dengan partai-partai koalisi pemerintah, Demokrat dan Golkar enggan membahasnya di setgab. Seharusnya, semua isu yang menimpa dan berkaitan dengan kepentingan koalisi dibahas di setgab.

Vonis Bebas Murni dan Kasasi Atas Prita Mulyasari

Kasasi yang diajukan jaksa penuntut Pengadilan Negeri Tangerang terhadap vonis bebas Prita Mulyasari dan dikabulkan Mahkamah Agung menuai sejumlah kontroversi.
Tjatur Sapto Edy, Wakil Ketua Komisi III yang mengawasi bidang hukum DPR RI, merasakan keganjilan ini. Tak hanya Tjatur, anggota DPR lain seperti Nudirman Munir pun mempertanyakan keputusan MA yang mengabulkan kasasi tersebut, sehingga tempo hari kemarin, Prita pun kembali menjalani persidangan di Mahkamah Agung dan dijatuhi hukuman 6 bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun.
Keputusan MA itu dinilai beberapa pakar bertentangan dengan aturan yang berlaku, yaitu, vonis bebas murni, tidak bisa diajukan kasasi. Untuk lebih jelas mengenai tafsir bebas murni dan kasasi, silahkan buka link berikut: http://hukumonline.com/berita/baca/hol21009/kasasi-atas-vonis-bebas-yurisprudensi-yang-menerobos-kuhap .

Rabu, 13 Juli 2011

contoh

tulisan loe hbjkk

Selasa, 12 Juli 2011

Tjatur: PK Mba Prita ditunggu

“PK mba Prita ditunggu. Kami akan mendukung. Sebagai orang Islam, kita ini disuruh berjuang, soal hasil itu nanti.” Itulah komentar dan saran yang diarahkan Tjatur Sarpo Edi dalam menanggapi putusan Mahkamah Agung terhadap Prita Mulyasari, seperti dikutip dari detiknews.com.Pernyataan tersebut disampaikan Tjatur saat rapat Dengar Pendapat Umum di Gedung DPR, Senayan.

MA memutuskan hukuman enam bulan penjara dengan satu tahun masa percobaan. Hukuman dari tim hakim ini bertolak belakang dengan vonis murni bebas dari pengadilan yang pernah diterima Prita. Diadili secara pidana, Prita divonis bebas, namun ketika kasasi dalam putusan perdata, Prita malah divonis penjara enam bulan.

Prita sempat divonis bebas karena tidak terbukti melakukan tindakan pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera Tangerang. Surat elektronik berisi keluhan Prita mengenai pelayanan RS Omni, yang diduga sebagai praktek pencemaran nama baik, ternyata disanggah oleh Pengadilan Tinggi Tangerang dengan sebuah hadiah cantik yaitu vonis bebas, pada 29 Desember 2009 lalu. Namun, jaksa mengajukan kasasi dan dikabulkan Mahkamah Agung, sehingga 18 Juli 2011 ini, Prita dijatuh hukuman enam bulan penjara. Penjatuhan vonis ini memiliki dasar yang sama sekali berlawanan dengan dasar vonis pada pengadilan pidana di Pengadilan Negeri Tangerang.

Tjatur Sapto Edi, sebagai Wakil Ketua Komisi III yang menggawangi bidang hukum di DPR, mendukung jika Prita jika melakukan PK (Peninjauan Kembali atas vonis Mahkamah Agung tersebut). Tjatur menilai ada kekeliruan dalam putusan kasasi tersebut.

Kekeliruan yang dimaksudkan oleh Tjatur mengarah kepada tim hakim MA, mereka dinilai telah melanggar kode etik dan dianggap kurang paham mengenai tekhnologi informasi. Tjatur berharap, jika PK yang diajukan Prita dikabulkan MA, maka hakim yang bertugas menyidang Prita haruslah yang memiliki pemahaman tentang Tekhnologi Informasi, sehingga tidak terjadi lagi keputusan yang tumang tindih.

Logikanya, tidak mungkin dalam satu kasus dan masalah yang sama, bisa diambil dua keputusan berbeda. Jika pasalnya mengenai pencemaran nama baik, maka keputusannya tidak boleh berbeda dengan vonis PN Tangerang pada 2009 lalu. Lain halnya ketika Prita disidang dengan pasal berbeda, maka bisa saja hukuman enam bulan tersebut dijatuhi.

Keterangan Tjatur mengenai kasus Prita ini juga diperkuat oleh pernyataan Adnan Buyung Nasution dan Nudirman Munir. Adnan menyatakan bahwa ada keganjilan dalam putusan Hakim MA pada kasasi kasus Prita, sedangkan Nudirman di tempat terpisah, seperti dikutip detiknews.com, mempertanyakan pengabulan permintaan kasasi oleh Jaksa oleh MA.

Nudiman menjelaskan, jika vonis yang dijatuhkan itu adalah vonis murni bebas dari tuntutan, maka, tidak boleh ada kasasi atau naik banding. Nudirman menilai, penegak hukum, dalam hal ini MA, telah melakukan pelanggaran hukum. Hal ini senada dengan Tjatur Sapto yang mengatakan putusan MA telah melanggar kode etik.

Dukungan, baik dari Tjatur maupun Nudirman, merupakan satu dukungan moril yang sangat menguntungkan untuk Prita, karena secara hukum, DPR sebagai lembaga legislatif lebih mengerti mengenai UU ITE.

Mengutip news.okezone.com, Tjatur mengatakan, “"Saya berharap Prita segera mengajukan PK karena sudah ada yurisprudensi kasasi yang membebaskannya dari tuntutan perdata di mana majelisnya pimpinan MA yang lebih luas pertimbangan hukumnya."

SBY Tak Tegas Sikapi Konfrontasi dengan Maaysia

Peristiwa konflik RI-Malaysia ini menimbulkan berbagai gejolak di negeri ini. Mulai dari demonstrasi dengan tipe soft, sampai tipe hard pun terjadi. Konflik ini pula berefek kejadian bentrokan aparat dengan demonstran, kecaman untuk presiden SBY, dan beragam perang statement di dunia Maya antara orang Indonesia dengan Malaysia.

Caci-maki warga Indonesia dengan Malaysia di dunia maya seakan mengisyaratkan bahwa situasi memang genting untuk membuat suatu kesepakatan dan perundingan. Lantas, SBY berpidato di markas militer mengenai memanasnya hubungan bilateral ini. Namun ternyata mengecewakan. SBY tidak bisa menggebu-gebu seperti Sukarno, makanya jangan lantas kita terbuai keganasan Sukarno sebagai induknya Macan Asia dulu ketika menyuarakan ganyang Malaysia.

Pidato SBY tersebut memang dirasa bertentangan dengan mayoritas perasaan dan emosi dari rakyat. Belum terlalu terasa ketegasan SBY dalam menyatakan sikap terhadap hubungan yang kian memanas ini. Ketidaktegasan inilah yang membuat rakyat semakin geram dan menilai pidato SBY akan membuat citra Indonesia di mata Malaysia semakin tidak bermartabat. Anggapan ini tidak salah memang, bahkan Malaysia juga bergolak atas aksi pembakaran benderanya oleh aktivis Bendera di Jakarta. Ini menandakan protes dan surat presiden tidak membuat Malaysia malu dengan apa yang telah dilakukannya.

Surat SBY pun kelihatan tidak ditanggapi serius oleh Malaysia. Bahkan, pernyataan keras PM Malaysia yang ditujukan kepada Indonesia, membuat hawa di sini terasa seperti terbakar api genderang perang. Banyak yang beranggapan SBY tidak tegas dan kurang bisa melakukan diplomasi serta dinilai kurang bisa mengambil langkah-langkah efektif untuk memadamkan api nasionalis rakyat Indonesia. Harus ada yang mendamaikan hati rakyat yang luka.

Lantas anggapan kegagalan SBY mengadakan diplomasi, apakah akan dijadikan alat politik bagi lawan-lawannya?

Tidak ada kata berpihak pada satu pihakpun, yang ada hanyalah berusaha berpandangan objektif terhadap setiap kejadian. Negara ini katanya menganut demokrasi, dan tentunya unsur politik kekuasaan di sini sangat kental terasa. SBY tentu punya lawan politik, ini adalah konsekuensi dari didirikannya Negara dengan basis politik demokrasi, terlebih Indonesia dengan multipartainya. Sudah tentu lawan politik SBY banyak, dan tentunya banyak yang tidak mendukung SBY dalam menjalankan pemerintahan. Saya termasuk di dalamnya, bukan pendukung SBY, namun saya punya alasan khusus untuk itu.

Masuk dalam bidang politik, pertikaian RI-Malaysia kali ini, ditambah dengan pidato SBY yang kurang tegas menyatakan sikap ketidaksukaan terhadap Malaysia menjadi makanan empuk bagi lawan politiknya. Politik pencitraan yang selalu menjadi andalan SBY sekarang dipakai lawan-lawan politiknya untuk menjatuhkan citra SBY dengan isu, SBY bukanlah pemimpin yang tegas.

Saya setuju dengan itu, konsep ketegasan SBY mungkin sangat berbeda dengan harapan kita sebagai rakyat yang mengharapkan pernyataan sikap tegas bahwa Indonesia tidak suka atas kelakuan Malaysia, namun pernyataan SBY yang penuh isyarat dan lebih banyak menggunakan bahasa implisit mengecewakan rakyat. Rakyat pun tentu mengerti akibat perang, kalau sampai hal itu terjadi, maka kehancuran dan kerugianlah yang akan didapat. Tapi bukan berarti kita tinggal diam, kecaman keras harus dilakukan baik berupa surat peringatan keras ataupun mengumumkan secara jelas dan terbuka bahwa Malaysia harus meminta maaf atas kelakuannya yang tidak sopan dan menyatakan bahwa Indonesia tidak suka tehadap Malaysia yang cenderung menganggap bangsa ini adalah bangsa pembantu “indon”.

Ketegasan SBY yang lembut membuai lawan politiknya. Media massa pun menjadi incaran alat komunikasi yang efektif untuk menggerakkan grass-roots di bawah. Propaganda tokoh-tokoh politik nasional di media massa justru cenderung memprovokasi warga masyarakat sendiri untuk bersikap menyalahkan SBY karena citra “tidak tegas” yang terus dibangun dan disyiarkan lewat media massa. Mungkin ini konsekuensi politis dari demokrasi. Ada yang menang dan ada yang kalah, pihak yang kalah bukannya mendukung, malah berusaha selalu mencari kesalahan pihak yang menang untuk dijatuhkan citranya.

Sekarang citra SBY yang tidak tegas dikuatkan melalui pemberitaan dan dialog-dialog mengenai bahasan RI-Malaysia diberbagai televisi. Adu debat pendapat, dan prokontra tentang peristiwa ini. Menjadi tontonan, dan bahkan ada juga yang bahasannya sengaja mengenai sikap presiden yang dinilai kurang tegas. Kita patut untuk bertanya, sikap pro kontra terhadap sikap presiden ini, layakkah kita perdebatkan dan kita bahas sekarang. Haruskah disaat bangsa ini dilecehkan martabatnya, kita malah sibuk saling menyalahkan sikap antar sesama kita sendiri?

Tidak seharusnya kita menyalahkan presiden yang seperti itu. Biarlah presiden sendiri yang mengoreksi tindakannya, dan jangan sampai isu ini dibalikkan dan diputarkan oleh segelintir orang yang merasa diuntungkan dengan pidato SBY tersebut. Melihat reaksi rakyat yang kecewa dengan pidato dan sikap presidennya, maka janganlah masyarakat terpengaruh atau terprovokasi oleh hal-hal seperti ini. Jangan sampai hal-hal fundamental seperti martabat bangsa dikalahkan dengan isu politis semacam ini. Tindakan ini menurut saya kental aroma politis yang bertujuan menjatuhkan citra SBY.

Menurut saya, kita layak kecewa dengan pidato presiden yang memang saya nilaipun kurang greget dalam menghantam Malaysia, tapi kita harus ingat bahwa itu adalah efek dari peristiwa konflik ini, jadi jangan terbuai. Biarlah SBY sadar bahwa rakyat tidak suka dan kecewa terhadapnya, dan semoga beliau berubah, mungkin inilah permintaan idealnya.

Tindakan yang harus dilakukan sekarang adalah bagaimana menjaga emosi rakyat tetap panas, namun tidak meluap, sehingga Malaysia dan pemerintah sesegera mungkin melakukan perundingan dengan Malaysia mengenai inti pokok masalah yang terjadi yaitu penangkapan petugas KKP oleh tentara Diraja Malaysia. Rakyat jangan mau dipolitisasi dan harus fokus pada masalah utama.

Profesi Baru Bernama Anggota DPR

Rancangan bangunan baru gedung Dewan Perwakilan Rakyat yang menghabiskan dana sekitar 1,6 Triliun serasa membuat kepala rakyat pecah. Memang, kesenjangan sosial di negeri ini sangatlah besar. Antara si Kaya dan si Miskin kita bisa lihat dengan jelas, antara pejabat dan rakyat melarat sangat kelihatan. Bahkan di Negara yang berdasarkan Pancasila ini, sekarang kita bisa memakai istilah kaum kapitalis dan proletariat sebagai pembeda kelas sosial yang terjadi.

Ya, jurang pemisah ini terlalu besar. Si Kaya akan bertambah kaya, si Miskin akan semakin miskin.

Kelakuan wakil-wakil rakyat yang duduk di Senayan menambah pilu hati rakyat Indonesia yang mayoritas berada di bawah garis kemiskinan. Terlebih lagi wacana dan rencana pembangunan gedung baru ini dilemparkan menjelang dan saat bulan Ramadhan berlangsung. Puasa yang seharusnya aman , damai, tentram, langsung merubah hati rakyat menjadi gusar dan resah.

Nilai nominal 1,6 Triliun bukanlah jumlah yang sedikit untuk dianggarkan pada pembangunan gedung yang belum terlalu penting untuk dilaksanakan sekarang. Rakyat Indonesia lebih membutuhkan hal tersebut untuk diberdayakan guna kepentingan umum. Memajukan pendidikan yang biayanya selangit misalnya.

Entah apa yang salah dari negeri ini. Apakah sistem pemilihan langsung anggota legislatif yang membuat para dewan bertingkah seperti ini? Entahlah. Mungkin, banyaknya modal yang dikeluarkan saat kampanye harus segera ditebus dengan berbagai fasilitas kesenangan ketika menerima jabatan. Budayakah? Atau memang sudang tidak ada lagi anggota dewan yang peduli pada rakyat?

Iwan Fals bilang, “kalian dipilih bukan dilotre,” jelas sekali maknanya bahwa anggota Senayan adalah orang-orang terpilih dari seluruh Indonesia untuk mewakili suara seluruh rakyat Indonesia. Tugas seorang pemimpin adalah melayani, bukan dilayani. Anggaran Negara ada di tangan orang-orang ini. Kursi empuk Senayan bagai pisau yang tajam. Bisa dipakai untuk menyejahterakan rakyat, bisa pula dipakai untuk merogoh uang rakyat dengan membabi buta.

Ternyata Pancasila sebagai sebuah dasar Negara kerakyatan telah hilang dari hati para wakil ini. Tidak ada keadilan dalam Negara ini, sungguh kata “keadilan” sangat langka bagi Indonesia. Belum lagi kita resah dengan taraf pendidikan masyarakat Indonesia yang sangat memprihatinkan. Mahalnya pendidikan membuat Indonesia tidak ubahnya sebagai Negara yang selalu bergerak di tempat, alias tidak maju-maju dari seluruh aspek.

Setengah abad lebih sudah Indonesia merdeka secara konstitusi, namun kenyataan yang dapat dilihat dilapangan tidaklah ubahnya seperti saat Belanda masih menjajah bangsa ini. Bahkan, penjajahan sekarang bukanlah dilakukan bangsa lain, melainkan kaum pribumi yang mengenakan jas sebagai lambang jabatanlah yang menggerogoti kesejahteraan rakyat.

DPR ada untuk rakyat, bukan untuk pribadi dan golongan sendiri. Beda partai, beda warna, beda golongan, namun satu tujuan yaitu memerdekakan rakyat dari jajahan kemiskinan. Tingkah DPR terkait pembangunan gedung baru itu justru semakin menyengsarakan rakyat. Tenaga rakyat diperas, masuk APBN, terus dipakai untuk sesuatu yang tidak akan dinikmati rakyat. Tidak cukupkah uang yang diperoleh oleh anggota dewan itu dari gaji pokok dan berbagai tunjangan mereka? Atau perlukah gaji pokok mereka dinaikkan dua kali lipat? Atau lebih lagi? Sampai kapan rakyat harus menderita?

Pemimpin adalah pelayan, bukan yang dilayani. Kalimat ini kuncinya. Tidak usah dihitung seluruh Indonesia, sekarang, berapa banyak kita lihat pengemis yang bertaburan dibelantara Jabodetabek. Bahkan setiap melewati lampu merah, pasti ada manusia-manusia penampung rupiah itu. Perkara gedung baru bukanlah sesuatu yang ideal untuk direncanakan sekarang, tapi bagaimana caranya supaya mereka yang selalu tidur dijalanan itu diberikan pekerjaan sehingga tidak ada lagi yang namanya tangan di bawah, yang ada adalah tangan di atas, itulah seharusnya pencanangan pemerintah.

Gedung baru lambang kejayaan Negara. Mungkin beginilah maksud para anggota dewan itu. Jika memang seperti itu, Indonesia tidak lebih hanya sekedar buah kelapa yang telah habis air dan isinya, keras dan perkasa tampilannya di luar namun kosong melompong di dalam. Terus, kalau DPR tidak bisa meyejahterakan rakyat, dan masih melanjutkan pembangunan gedung baru tersebut, maka kita ganti saja status DPR menjadi sebuah institusi perusahaan swasta yang selalu siap untuk melayani karyawan-karyawannya. Sekarang DPR menjadi lembaga profesi, jadi anggota dewan itu adalah karyawan-karyawan perusahaan bernama Dewan Perwakilan Rakyat yang siap sedia menyediakan fasilitas, tunjanan, kenaikan gaji, dan berbagai kenyamanan lainnya, asalkan karyawan-karyawannya bisa bekerja secara professional. Lantas apa pekerjaannya dan dari mana sumber uangnya? Pekerjaannya adalah membuat anggaran untuk kepentingan sendiri dan golongan yang bertujuan semakin memperkaya diri, serta sumber uangnya adalah menyedot APBN.

Selamat atas terciptanya profesi baru yang pekerjaannya enak dan menerima gaji selangit. Fiuhhh…!!! Capek deeehhh...

Menyikapi Konfrontasi Indonesia-Malaysia

Harga diri bangsa tersinggung, amarah pun tersulut, keadaan memanas, dan apa yang akan terjadi?

Diplomasi sudah dilakukan, namun belum menampakkan hasil yang berarti.

Peristiwa penangkapan petugas kelautan Indonesia oleh tentara diraja Malaysia di kepulauan Bintan Agustus kemarin, membuat bangsa ini marah. Betapa tidak, perlakuan tersebut telah mengganggu hubungan bilateral kedua Negara dan melanggar hukum Internasional karena peristiwa tersebut terjadi diwilyah Indonesia.

Kekecewaan mendalam layak kita alamatkan untuk Negara tetangga tersebut. Bagaimanapun, semua hal yang terjadi dalam negeri ini, maka Indonesia sendirilah yang memiliki hak atas itu, bukan bangsa lain. Tidak ada hak Negara manapun, termasuk Malaysia melanggar batas teritori Indonesia, terlebih lagi menangkap orang Indonesia di perairan Indonesia sendiri. Sungguh memalukan dan tidak mengerti aturan Internasional, serta tidak memiliki tata kesopanan.

Indonesia memanglah bangsa yang sabar, sehingga mungkin sudah terlalu lelah mengahadapi berbagai tingkah bangsa Malaysia yang sering kali membuat hati dan kepala menjadi panas. Mungkin kemmarahan bangsa ini sudah memuncak dan sampai di ubun-ubun bak lahar gunung merapi yang hendak keluar dari kawahnya. Akumulasi dari berbagai sikap Malaysia yang terkesan merendahkan martabat negeri ini menciptakan berbagai gerakan panas di grass-root bangsa. Beragam aksi demonstrasi terjadi, bahkan demonstrasi yang tidak sopan pun terjadi.

Lantas, pihak Malaysia malah menyulut api peperangan. Pihak negeri jiran itu membuat pernyataan agar pemerintah Indonesia menindak orang-orang yang melakukan aksi pembakaran bendera Malaysia. Sebenarnya pihak Malaysia tidak sadar sedang memicu bom yang sewaktu-waktu bisa meledak hebat.

Inti masalahnya adalah sikap Malaysia yang dinilai arogan dan sudah melanggar hokum Internasional. Lantas permasalahan demonstrasi yang membakar bendera Malaysia, itu hanya efek turunanan atas sikap Malaysia tersebut di Negara demokrasi, bahkan jika tidak segera Malaysia membuat sikap yang melunakkan hati bangsa Indonesia, maka suasana panas seperti ini pasti akan terus berlangsung. Harus ada dialog intens antara pemerintah Indonesia dengan Malaysia mengenai permaslahan ini. Jangan sampai ada pengalihan topic masalah hingga nantinya Indonesia jugalah yang tersudut karena tuntutan-tuntutan Malaysia.

Jangan malah akar masalah tentang petugas kelautan Indonesia yang ditangkap di perairan negeri sendiri berubah dan bergeser menjadi masalah pelemparan kotoran dan pembakaran bendera Malaysia kemarin. Harus dipahami bahwa konteks masalahnya adalah sikap dan tata kesopanan Malaysia yang harus diluruskan agar menghormati kehidupan bertetangga, apalagi dengan Negara serumpun, rumpun Melayu.

Lebih jauh, Indonesia harus jeli melihat bahwa kejadian ini adalah efek dari tidak jelasnya batas-batas Negara Indonesia, sehingga bangsa lain bebas berbuat dan keluar masuk territorial kita. Penjagaan dan pembekuan hak kepemilikan atas pulau-pulau terluar Indonesia harus lebih diperjelas agar Negara kita memang jelas adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Terkait masalah pidato Presiden SBY yang dinilai kurang mewakili perasaan dan emosi rakyat Indonesia, maka selaiknya kita mengambil langkah bijak. Tidak elok memang kalau persoalan ini dibawa ke arah bentrok fisik karena akan menimbulkan kerugian yang banyak. Namun langkah tegas dengan diplomasi dan dialog tentang tapal batas dan sikap Malaysia cukup menunjukkan mentalitas bangsa yang masih terjaga. Kebulatan tekad untuk segera bertindak tegas mengenai tapal batas dan pelanggar wilayah territorial harus kontiniti dan istiqomah. Namun suasana panas di barisan bawah tetap harus dijaga dan dipelihara sebagai wujud eksistensi ketersinggungan masyarakat Indonesia atas tindakan Malaysia. Tindakan menjaga suasana panas di hati masyarakat ini, supaya Malaysia sadar bahwa bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang mudah diinjak-injak dan diremehkan. Sekali insrtruksi “perang” keluar dari mulut presiden, maka bisa dipastikan lahar kemarahan ini akan berubah menjadi suatu energi tak terbatas yang siap meluluhlantahkan Malaysia.

Nama Baru: Ciketing

Ciketing, memang tidak terkenal. Saya pun baru pertama kali mendengar nama daerah ini dari media massa beberapa waktu lalu, ketika ada peristiwa penusukan seorang Penatua dan Pendeta dari kelompok Huria Kristen Batak Protestan oleh sekelompok orang.

Terakhir terungkap kabar, pelaku penusukan tersebut adalah kelompok orang dari Front Pembela Islam. Ketua FPI Bekasi pun akhirnya dinonaktifkan sesuai dengan ketentuan organisasi tersebut. Muharli Barda yang masuk proses hukum, harus nonaktif sampai persoalan hukumnya selesai. Muharli diduga bertindak sebagai otak dari peristiwa penusukan itu, sedangkan pelaku atau eksekutor sendiri didakwakan pada Ade Firmansyah, jemaah FPI Bekasi.

Kasus ini memang sarat akan unsur bentrok kepercayaan dan keyakinan, pasalnya, bentrokan dan penusukan itu terjadi ketika jemaat HKBP sedang berjalan menuju tempat beribadahnya di lahan kosong di Ciketing, kemudian datang sekelompok orang dan langsung melakukan penyerangan. Seketika itu juga terjadi penusukan dan pemukulan terhadap Pendeta Asia dan Penatua gereja HKBP oleh sekelompok orang yang disinyalir anggota FPI Bekasi itu.

Sebelum peristiwa itu terjadi memang ada penolakan terhadap rencana pembangunan gereja HKBP di daerah itu, namun jemaat HKBP kelihatannya tidak mengindahkan dan tetap melaksanakan ibadah, dugaan saya mungkin inilah yang melatarbelakangi peristiwa ini.

Pembangunan rumah ibadah sudah diatur dalam peraturan dua Menteri, yaitu menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Kriteria untuk mendirikan rumah ibadah sudah diatur dalam peraturan tersebut, sehingga jika ada keinginan dari agama-agama yang ada di Indonesia ini untuk mendirikn tempat ibadah, seharusnya mengacu pada aturan tersebut. Memang benar bahwa kebebasan beragama dan beribadah adalah hal yang dijamin dan dikawal oleh Undang-undang Dasar kita pasal 28 ayat 2. Namun tentu aturan dasar memiliki anak aturan yang terperinci, misalnya ya peraturan menteri tadi.

Posisi Undang-undang memang lebih tinggi tempatnya dari peraturan menteri, hal ini untuk mencegah terjadinya dua hukum dalam satu kasus. Namun, interpretasi dari undang-undang itu terdapat pada beragam peraturan lain yang ditetapkan institusi-institusi lain dan tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut.

Maka pasti sudah adil hal tersebut jika perturan ini berlaku untuk setiap agama tanpa terkecuali. Mayoritas atau minoritas dalam hal ini bukan masalah, sebab hukum memiliki sifat tidak pandang bulu. Dengan kata lain, idealnya, kelompok besar atau kecil, pasti mendapat perlakuan sama dimata hukum.

Jangan lantas apabila satu golongan merasa diberatkan atas hukum yang ditetapkan, maka peraturan tersebut harus dicabut atau direvisi. Justru ini adalah tindakan yang tidak adil bagi golongan yang lain. Jika satu kelompok merasa berat, maka kelompok lain pun otomatis pasti merasa berat, karena sifat hukum tadi yang berlaku tanpa pandang bulu.

Jika masalah ini dikaitkan dengan undang-undang dasar yang menyatakan bahwa setip warga Negara diberi kebebasan dalam beragama dan beribadah, maka untuk kasus ini tidak bisa dikaitkan dengan undang-udang tersebut. Setiap pribadi memang memiliki hak prerogatif untuk menyandang keyakinan masing-masing, namun kebebasan tersebut menjdi terbatas ketika berhadapan dengan publik. Jika setiap orang punya kebebasan, maka kebebasan-kebebasan itu akan beradu antara satu sama lain. Jalan yang ditawarkan tentunya harus ada pembatasan kebebasan-kebebasan tersebut. Batasan tersebut berupa seperangkat aturan-aturan yang ditetapkan dan disepakati bersama. Tidak ada yang diuntungkan, dan tidak ada yang dirugikan. Untuk itu sudah tepat adanya SKB Dua Menteri yang mengatur tentang pendirian rumah ibadah. Aturan inilah yang merupakan landasan dasar jika satu agama ingin mendirikan rumah ibadah.

Aturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri ini juga merupakan batasan dari kebebasan yang dimiliki setiap manusia agar tidak bertentangan satu sama lain. Jadi, SKB Dua Menteri ini bukannya menentanh Undang-undang Dasar yang menyatakan bebasa beragama dan berkeyakinan, tapi justru menjadi pelengkap dan perinci makna kebebasan yang disandangkan pada UUD tersebut.

Persoalan penusukan jemaat HKBP tidak sepenuhnya benar merupakan perkara pelarangan terhadap beragama. Adalah benar bahwa tindakan ini mungkin bermotif persoalan agama, namun harus diingat ada perkara emosi dan social di dalamnya. Jemaat HKBP tersebut bukan berasal dari daerah Ciketing, namun ingin mendirikan rumah ibadah di daerah tersebut. Inilah yang menyebabkan terjadi gesekan dengan ormas setempat yang berlainan keyakinan dengan HKBP. Peristiwa ini harus dinilai bahwa menjaga toleransi ini wajib dan tidak boleh ada tindakan kekerasan dalam keyakinan. Namun, toleransi yang diberikan juga harus berdasar pada factor-faktor pendukung lainnya yang tidak bisa dikesampingkan.

Pendirian masjid dan pusat ibadah di Gound Zero, di jantung Amerika Serikat memang dinilai kurang cocok, karena faktor keterwakilan dari keberadaan muslim di daerah itu tidak memungkinkan dan tidak memenuhi quota untuk dibngunnya rumah ibadah muslim. Saya rasa peraturan adalah peraturan, konflik memang akan terbuka lebar dan masalah ini memang sensitif.

Kebebasan beragama dan beribadah harus kita junjung tinggi, tapi ingat bahwa kebebasan tersebut memiliki batas, yaitu peraturan, ini senada dengan pernyataan Jusuf Kalla mengenai tanggapannya tentang kasus ini.

Kami LK lagi

HMI Komisariat IISIP Jakarta kembali melaksanakan LK 1 Basic Training di Graha Insan Cita, Kelapa Dua, Depok, 18 maret lalu. LK yang dilaksanakan pada akhir kepengurusan Muhammad Rozi ini berlangsung selama empat hari.

Dilihat dari sejarah HMI Komisariat IISIP, maka kepengurusan ini telah melakukan pemecahan rekor karena berhasil mengadakan LK 1 sebanyak tiga kali dalam satu masa kepengurusan. Selama 10 tahun ini HMI IISIP belum pernah bisa melakukan hal seperti ini. Dengan dilakukannya LK 1 ini, maka kader-kader HMI IISIP bertambah dari segi kuantitas, dan insyaAllah didukung juga dari segi kualitas.

LK yang dibimbing oleh Master Of Training Syaiful Amri, asisten MOT, Robi Kurniawan dan Agus ini berhasil melakukan kaderisasi terhadap 10 orang mahasiswa, delapan orang adalah mahasiswa IISIP, sedangkan yang lainnya berasal dari Gunadarma dan YAI.

Semoga keberhasilan kepengurusan ini dalam melakukan kaderisasi menjadi contoh untuk kepengurusan selanjutnya yang akan segera dibentuk dalam RAK (Rapat Anggota Komisariat) nanti.

Sedikit Deskripsi Dari Ironi Bumi Pertiwi

Terkata luar biasa, namun hal ini sudah menjadi kelengkapan bangsa Indonesia yang tak pernah ataupun sangat sulit untuk dihapuskan. Tipu-menipu dan kemiskinan, satu dari seribu kelengkapan bangsa yang sudah mendarah daging, sampai akhirnya ada satu kata mutiara yang terlontar dari salah seorang yang paling berjasa di negeri tercinta ini mengatakan,”kutanya pada Tuhan, kapan Indonesia terbebas dari kemiskinan? Tuhan pun menjawab dengan linangan air mata”.

Ironi? Entahlah kata apa yang seakan harus di sandingkan dengan kemiskinan dan tipu-menipu ini. Terus pertanyaan yang menggelayut dibenakku selanjutnya adalah, siapa penanggungjawabnya?,” kurasa kalian yang sudi membaca tulisan dan coret-coretanku yang tak berguna ini juga bertanya hal yang serupa, sehingga tak pernah terlintas dalam otak kita yang katanya cemerlang dan bermuatan memori system perkembangan peradaban ribuan cc ini suatu system masyarakat madani terkini.

Izin hamba bercerita sedikit wahai pembaca tercinta. Sekarang kita mainkan imajinasi seorang manusia dalam berkhayal, maka bacalah tulisan ini sampai habis dan bayangkan sendiri dalam angan-anganmu sekalian apa yang akan kuceritakan. Sehingga, dari karya tulis ini akan tergambar ribuan komik-komik khayalan yang terlukis indah dalam benak masing-masing anak-cucu Adam, yang bersedia dan bermurah hati meluangkan sedikit waktunya untuk membaca dan berkhayal dengan tulisan asal-asalan yang diketik menggunakan sebuah alat canggih yang sedikit tertinggal, komputer dengan CPU Samsung dan Monitor bermerk LG, serta masih setia menggunakan windows XP dan sebuah printer Canon rusak yang manatapku dengan kesal dari arah atas kepalaku, mungkin printer rusak itu berteriak,”KAPAN AKU DIPERBAIKI???.”

Begini ceritanya!!!

Pada suatu hari dizaman dahulu kala, tepatnya hari Rabu, kulihat kalender canggih yang bisa melompati zaman di handphone merk D-O*e ku, waktu menunjukkan angka 17 februari 2010, katanya HP yang aku beli tahun lalu ini lumayan canggih, entah aku tertipu, atau memang benar-benar canggih, “aku tidak ambil pusing, yang penting punya alat komunikasi,” begitu bibirku berujar dengan tidak mengeluarkan suara. Namun ketika akhir-akhir ini dia menunjukkan perilaku aneh, dan ada seorang teman wanitaku yang kemudian berujar,”makanya, jangan pakai produk yang tergolong langka, pakai donk HP Nok*a.” Aku hanya tersenyum kecut dibuatnya.

Oia, kita kembali ketopik pembicaraan, maaf ya sedikit ngelantur?!. Hari Rabu itu, dengan menaiki mobil APV berwarna hitam milik salah seorang teman yang usianya terpaut sekitar 5-10 tahun denganku, kita meluncur ke daerah Jakarta Pusat. Aku duduk diblok tengah, sementara di jok depan ada pemilik mobil yang mengendarai sikuda besi beroda empat, dan disamping kanannya duduk lelaki bertopi hitam yang bertuliskan nama salah satu stasiun televisi terkemuka di Indonesia. Disampingku duduk pula dua stel kemeja berwarna hijau dan putih bergaris-garis, terus sebuah tas sandang hitam yang aku sendiri pun tidak mengetahui apa isinya,dan enggan pula menanyakan kepada pemilik tas karena aku masih memiliki rasa segan kepadanya, kemudian bertenger pula sebuah tas hitam lainnya yang akhir-akhir nanti kuketahui berisi kamera dengan panjang sekitar 40cm dan lebar 20cm, dan biasa dibawa-bawa oleh manusia yang dilehernya tergantung tulisan bernada “PERS”.

Sekitar 30 menit, kami sampai di daerah Kwitang Jakarta Pusat. Berikut ku inisialkan pemeran dalam cerita pendekku ini, Aku sebagai Pj, pemilik mobil berinisial Bm, dan lelaki bertopi punya singkatan nama Hr.

Bm : “Ayo kita mulai!”

Kami bertiga pun turun keluar dari mobil hitam itu. Suasana saat itu lumayan terik karena ganasnya sinar Sang Surya Ibukota tercinta. Kemudian ku hampiri salah seorang pedagang valas yang berjualan disepanjang kwitang raya, sementara itu sang pemilik mobil mengganti pakaiannya dengan kemeja yang menjadi pasanganku di jok belakang, pria bertopi asyik merangkai kamera dan tripodnya, dan saat itu aku mengenakan baju dinas kemeja merah yang berselimutkan keringat.

Pj : “Pak, bisa kan?”

Pedagang valas: “hnhn, yaa bisa lah, ga apa-apa”

Bm : “Pj, gimana?”

Pj : “Okay, mantap!”

Sedikit lobi-lobi dengan pedagang valas bernama Bram alias Udin Penyok, akhirnya kita bisa mengambil gambar bertema Bank terbesar,“CENTURY”.

Selidik punya selidik, ternyata pedagang valas kaki lima ini sudah bedagang sejak masa krismon dulu, sekitar tahun 1998. Setiap harinya pedagang ini melayani, bisa dikatakan tidak sampai sepuluh pelanggan yang berniat menjual atau membeli mata uang asing tersebut. Serta penghasilan yang didapat setiap harinya pun sangat minim, hal ini sangat kontras jika dibandingkan dengan transaksi valuta asing yang terjadi di sebuah bank yang berlokasi tak jauh dari sana.

Bm : “Pak Bram, gimana terpengaruh krisis ga?”

Bram (Udin): “gak tuh, kita disini mah beda sama bank, kalo dibank ga mau ngelayanin yang uangnya rusak, atau lecek, tapi kita uang yang agak robek aja kita layanin, masalah krisis kita kagak ngmbil pusing” (berlogat betawi kental)

Begitulah pengakuan Udin yang gambarnya terus diambil dan disorot oleh Hr ketika melakukan trransaksi dengan pelanggan yang waktu itu sedang bernegosiasi ingin menukarkan uang miliknya. Miris dan mengiris, dibank, transaksi berlangsung elegan dengan jumlah besar, bahkan tak jarang sangat besar, namun tak jauh dari kemewahan itu terdapat transaksi serupa dengan iklim berbeda, disini penjual dan pembeli tak ada yang mengenakan pakaian mewah, hanya kaos oblong lusuh, topi kumal, dan muka berdebu yang ada. Ketika kulihat isi dompet Pak Udin ini, hanya ada satu lembar uang 20 ribu berwarna hijau yang dengan sengaja dirawat rapi dan tidak akan dibiarkan kusut olehnya.

Akhirnya selesai obrolan hangat disertai dengan sorotan kamera Hr ini. Keramahan Udin dan penjual valas kaki lima ini tak kalah dengan keramahan para teller bank. Keindahan negeri ini tercermin disini, dimana kesenjangan social sangat kental terlihat. Selesai pengambilan gambar, kita pun ngopi bareng dengan tukang ojek dan pedagang valas tadi.

Selang lima menit, aku menemukan seorang pemulung bernama Suherman yang tidak mau dipanggil dengan namanya, namun dia mau dipanggil dengan sebutan Siman-Siman. Ini lebih parah, dengan mulut berbau “amer”, pria berpakaian kemeja robek, rambut acak-acakan, sepatu yang kelihatan ujung jempol kai, memanggul karung putih berisi botol plastik, dan berusia tidak sesuai dengan penampilan ini bahkan tidak mengetahui apa nama pekerjaan yang digelutinya selama sebulan terakhir ini.

PEMERINTAH MANA PENDIDIKAN YANG KALIAN JANJIKAN?

Kemudian waktu kuhabiskan untuk bercakap-cakap dengannya.

Pj : “Pak, dari mana?”
Siman : “Ini, dari sana”

Pj : “mau kemana?”

Siman : “balik bang”

Pj : “itu karung isinya apa?”

Siman : “botol-botol”

Pj : “Oh, bapak mulung ya pak? (berlagak tidak mengetahui)

Siman : “ia, kata orang-orang sih begitu bang”

Pj : “berapa sekilo botonya pak?”

Siman : “sekarung Rp1500 bang”

Aku tersentak kaget mendengarnya. Siman yang sudah berumur ini mengaku sekarung hanya dihargai 1500 rupiah oleh bosnya yang diakuinya berbadan gemuk, berasal dari Medan, dan sering menggunakan kaca mata hitam serta memiliki alat kelamin menonjol keluar.

Siman mengaku maksimal dia pernah mendapatkan hanya dua karung sehari dan hal itu seharga dengan 3000 rupiah. Jika kita kalkulasikan dalam sebulan, 3000x30=90.000. Ya, hanya segitulah uang maksimal yang diperoleh Siman dari memulung. Padahal setahuku, satu kilo tumpukan plastik bekas itu bisa dihargai sampai 7000 rupiah, bayangkan berapa keuntungan yang diperoleh bos pak Siman ini dari hasil menipu dan memperdaya anak buahnya sendiri.

Kutanya juga, “sudah menikah pak?,” dia berujar dengan polos, ”belum, ini lagi usaha untuk mengumpulkan uang.” Aku ingin teriaaaaakkkkkk!!!!!!.

Tak lama pemilik mobil menghampiri, dia menyodorkan uang bernominal 50.000 rupiah kepada Siman, Siman langsung mengambil dan mencium tangan Bm.

Mendengar tutur kata Siman dan tingkahnya, seakan aku ingin menangis dan meneteskan air mata, dan terbetik dalam hati sebuah pertanyaan menggoda, seandainya manusia revolusioner nomor satu bernama Muhammad SAW, masih hidup, akankah ini terjadi???

Yaaaah begitulah cerita singkat ini kubuat hanya dengan dasar keinsengan semata namun berasal dari kenyataan yang ada. Terimakasih telah membaca tulisan yang seadanya, semoga negeri ini dirahmati Tuhan Yang Kuasa. Maaf, jika kurang menarik silahkan dikitik dan jika menarik silahkan di……………….. hnhnhnhn…. diapain aja deh boleh…

Apatisme Mahasiswa dan Hubunganya dengan Materialisme Kebendaan

Hedonisme adalah suatu paham atau aliran yang orientasinya pada kesenangan, berfoya-foya, serta duniwi.

Apatisme adalah suatu sikap yang acuh tak acuk (tidak ambil peduli) terhadap lingkungan, kebiakan, bangsa, diri sendiri dan sebagainya. Apatisme biasa muncul untuk merefleksikan sikap yang acuh tidak acuh dan ketidakpedulian terhadap suatu permasalahan atau keadaan yang terjadi.

Pragmatisme adalah paham yang orientasinya pada hasil ahir. Artinya tidak ada pertimbangan atas langkah-langkah (system) yang dilakukannya, apakah bersifat menekan ataupun menindas, tetapi yang terpenting bagi mereka adalah hasil akhir yang mampu membuat mereka senang.

Pragmatisme merupakan kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan,dsb) bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia dan seringkali mampu memberikan penjelasan yang berguna terhadap suatu permasalahan dengan melihat sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis.

Pragmatisme dan apatisme sudah mulai banyak menghinggapi sikap dan tindakan kaum-kaum muda intelektual bangsa dalam menilai suatu permasalahan baik yang terjadi di dalam ruang lingkup terdekat mereka di dalam dunia pendidikan seperti kampus, ataupun dalam menanggapi berbagai persoalan yang bersifat lebih luas dari cakupan regional mereka sendiri.

Paham-paham tersebut merupakan turunan dari paham Materialisme yang memiliki pemahaman bahwa tidak ada alam lain selain alam Materi. Dengan kata lain materi adalah segalanya, sehingga menimbulkan pemikiran secara tidak sadar bahwa materi haruslah didapat dengan jalan apapun.

Paham material ini mewabah dan menjangkiti kaum muda intelektual, namun kaum muda tersebut banyak yang tidak sadar bahwa mereka telah terjangkiti.

Siapa kaum muda yang terjangkiti jika dilihat dari tinjauan fungsinya?

Mahasiswa bisa dikategorikan kaum muda intelektual, akademis, beralmamater perguruan tinggi, dan harus menjunjung tinggi tri darma mahasiswa:

· agent of change

· agent of science

· agent of society

Seorang mahasiswa dituntut harus mampu dalam mengemban ketiga poin di atas.

Nah, kaum inilah yang sedang mengalami perubahan mendasar, kaum muda yang disebut mahasisswa ini sedang mengalami gejolak dimana nilai-nilainya sudah berubah. Mahasiswa sekarang cenderung mengarah kepaham materialisme dan apatisme, entah mereka sadar atau tidak terhadap tindakan mereka tersebut namun dalam bahasa saya, mahasiswa yang bersifat seperti ini hanya siswa-siswa yang diberikan almamater dan duduk diperguruan tinggi.

Faktor mendunianya paham-paham di atas pada kalangan Mahasiswa

· Arus teknologi yang tanpa batas

· Arus informasi yang men”dewa”kan kebebasan berekspresi

· Globalisasi, dan tersedianya banyak layanan untuk menerima unsur-unsur globalisasi;

· Westernisasi

· Menyukai produk Instan

· Gaya hidup Konsumtif

Kampus, identik dengan kehidupan akademik. Kehidupan mahasiswa yang beragam dan unik, serta dalam setiap langkahnya pasti membawa cerita yang berbeda. Ada beragam sisi yang bisa kita lihat, sisi yang mampu membawa setiap insan mahasiswa yang terlibat di dalamnya untuk bercengkrama, berdiskusi, berpolitik kampus, ataupun hanya sekedar datang dan pulang tanpa membawa kesan.

Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh kampus, seringkali dijadikan sebagai ajang perdebatan mengenai seberapa besar kepentingan mahasiswa terpenuhi dan seberapa tersalurkannya aspirasi mereka atas kebijakan itu sendiri.

Secara historis globalisasi berarti meluasnya pengaruh suatu kebudayaan atau agama ke seluruh penjuru dunia. Namun pengertian sekarang sedikit bergeser sehingga sesuatu yang telah mendunia bisa dikatakan globalisasi, hal ini dikarenakan keterbukaan informasi dan tekhnologi serta akses bebas.


Pragmatisme dan Apatisme Kaum Muda Intelektual

Beberapa contoh nyata pragmatisme dikalangan mahasiswa antara lain:

· Aksi bayaran dari seesorang.

· Jarang melakukan aksi dalam bentuk nyata

· Demonstrasi mahasiswa banyak yang menunggangi

· Tidak aktifnya mahasiswa dalam kajian ilmiah

· Jarang mengikuti diskusi-diskusi

· Tidak peka terhadap isu nasional

· Tidak cepat tanggap terhadap situasi masyarakat sekitar

· Cenderung berfikir bahwa belajar di kampus, mendapat indeks prestasi yang tinggi, cepat lulus, sehingga dapat secepatnya merasakan dunia kerja

· Mahasiswa lebih senang menikmati pesta

· enggan untuk mendengarkan atau mungkin mengkritik perpolitikan di negerinya


Dampak Sikap Pragmatisme dan Apatisme yang Mengakar

Penyadaran untuk kembali mengkondusifkan suasana berpikir kritis dan berani bertindak membutuhkan waktu tidak sebentar, namun usaha – usaha menghidupkan kembali melalui diskusi – diskusi kecil yang bisa menjadi bola salju yang besar masih terus berjalan dengan masih hidupnya organisasi pro demokrasi yang pernah jaya pada jamannya. Selain itu pola pikir yang tumbuh dalam jiwa – jiwa muda yang progresif harus bisa menggugah sebagian mahasisiwa lainnya untuk sama – sama bergerak membangun bangsa dengan kemampuan berkarya masing – masing.

Keadaan juga diperparah dengan adanya berbagai kelompok ‘mahasiswa’ yang menjajakan idealismenya untuk kepentingan-kepentingan politik praktis maupun kepada kepentingan borjuis tertentu demi keuntungan pragmatis yang hal ini tentunya memandulkan independensi mahasiswa.

Dunia mahasiswa memang menjadi komunitas yang unik didalam catatan sjarah perubahan, dimana mahasiswa menjadi tombak perubahan, mahasiswa juga terkenal dengan jiwa patriotnya serta pengorbanan tanpa pamrih, dan juga kita tahu bahwa gerakan mahasiswa mampu merobohkan otoritas, ketidakadilan, kebohongan, penindasan dan lain sebagainya. Ini semua terjadi karena mahasiswa mengemban tugas sebagai agent of change and agent of control.

· Hilangnya kritis di mahasiswa

· Tidak adanya calon-calon penerus bangsa yang mewarisi kepemimpinan yang sejati demi bangsa.

· Mahasiswa tidak lebih dari siswa yang beralmamater

· Hilangnya jiwa patriot dan idealisme mahasiswa

· Mahasiswa tidak lagi menjadi motor penyeimbang pemerintah

· Tidak terpenuhinya tridarma mahasiswa

· Hilangnya harapan bangsa

· Bangsa akan semakin tertinggal dari berbagai segi

Yang harus dilakukan

· Menghidupkan kelompok-kelompok diskusi

· Menyaruakan aspirasi rakyat tanpa tunggangan

· Membuat kajian-kajian ilmiah

· Rajin mengajak mahasiswa lain untuk ikut forum-forum diskusi

· Mahasiswa harus berorganisasi

· Dan lainnya mari kita diskusikan unsur solutif lainnya

Tinjauan Kasus di IISIP

Di IISIP sendiri ada beberapa contoh mahassiwa gejala apatisme dan pragmatisme mahasiswa antara lain:

· Demonstrasi yang ditunggangi

· Sedikitnya minat mahasiswa yang ikut diskusi

· Tidak terbentuknya BPM dan BEM sampai saat ini karena keengganan mahasiswa yang tidak mau tau tentang politik kampus.

· Banyaknya acara dugem yang diselenggarakan mahasiswa

HIMA/ UKM cenderung menginginkan terbentuknya BPM dan BEM dikarenakan kondisi finansial, bukan dari segi fungsi utamanya unsur organisasi mahasiswa tertinggi dikampus

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More