Senin, 18 Juli 2011

Jendral Hoegeng, Polisi Nan Sebenarnya

Jendral Hoegeng. Bagiku nama ini adalah nama baru. Mungkin karena tidak termasuk dalam pelajaran sejarah di sekolah, atau memang sengaja sosok seperti ini tidak ditampilkan kemuka umum karena bisa menjadi tolak ukur kejujuran bagi pemerintah, aparat, dan abdi negara lainnya.
Jendra Hoegeng merupakan seorang mantan kapolri yang jujur. Jujur dalam bertindak dan melaksanakan tugas. Menjadi polisi bagi Hoegeng bukanlah sebuah pekerjaan, namun pengabdian. Inilah idealnya sifat aparatur negara. Jika aparat negara sudah menganggap aktivitas mereka sebagai sebuah profesi, tentu tujuan pun akan berubah (baca: uang). Menjadi aparat negara tujuan utamanya bukanlah untuk mendapatkan uang, bayaran, atau gaji. Namun, lebih dari itu, seorang aparat negara, pemerintah, harus paham bahwa lakon yang mereka bawakan saat ini adalah sebuah perjuangan demi masyarakat.

Jendral Hoegeng memang telah tiada, namun, predikat kejujuran dan pengabdian selalu melekat pada pribadinya, bukan pada seragam yang dikenakannya. Citra Polri sampai saat ini masih tidak bisa membuat masyarakat puas. Terlebih dengan isu korupsi, kolusi dan nepotisme yang ada di tubuh Polri sendiri.
Mantan Kapolri di era 1968-1971 ini sempat dijegal sana dan sini akibat kejujuran dan totalitasnya menjadi seorang kepala polisi. Dengan sebuah pemahaman bahwa, yang di atas harus lebih baik dan menjadi contoh, maka Hoegeng banyak medapat cobaan dari berbagai pihak, termasuk, pemerintah yang berkuasa pada masanya, yaitu presiden Soeharto.
Siapa yang berani menolak perintah presiden yang satu ini. Bahkan, bersuara kritis sedikit saja, kita bisa hilang tak tahu dimana rimbanya. Hal ini tidak berlaku bagi Jendral Hoegeng. Almarhum kelahiran 1921 ini tetap konsisten dengan ketegasan, kejujuran dan pengabdian yang menjadi landasannya dalam bertugas.
Pria yang berasal dari Pekalongan ini pernah mengungkap kasus-kasus besar yang melibatkan kerabat pejabat, bahkan masuk ke lingkungan istana Cendana. Kasus Robby Tjahjadi, keluarga dekat Cendana, yang terlibat penyeludupan mobil pun pernah dibongkarnya. Kemudian pemerkosaan Sum tukang jamu gendong oleh anak seorang pejabat, yang dikenal denga kasus Sum Kuning pun dibongkar oleh sang Jendral.
Akibat dari frontalnya Hoegeng dalam bertugas, ia sempat dijegal berkali-kali oleh Soeharto. Menjadi seorang pemusik di TVRI, Hoegeng di cekal. Menjadi pengisi acara di radio El-Shinta, sang Jendral dianggap berkomentar terlalu pedas dan kemudian programnya ditutup. Akhirnya Hoegeng dipensiunkan oleh Soeharto dan berkehidupan sebagai seniman (melukis dan bermain musik hawaiin) sampai tutup hayatnya.
Ketegasan yang dimiliki Hoegeng tidak pandang bulu. Sebagai abdi pada pekerjaan dan masyarakat, mantan Kepala Imigrasi (1960) ini layak mejadi contoh bagi semua kalangan. Khususnya bagi isntitusi kepolisian saat ini yang sarat akan citra buruk. Hoegeng berpandangan bahwa sudah saatnya pemimpin itu menjadi suri tauladan bagi bawahannya. Apabila pemimpn adalah orang yang baik, maka bawahannya pun akan menjadi golongan-golongan konstruktif dan berguna sebagai abdi-abdi ideal. Polisi sudah saatnya menerapkan dengan sebenar-benarnya reformasi tubuh polri yang digadang-gadangkan beberpa waktu lalu itu. Jangan hanya menjadikan slogan tersebut sebagai sebuah perbaikan citra di mata masyakarta, namun tidak diiringi perubahan dalam tindakan-tindakan dan aktifitasnya.
Membandingkan antara Hoegeng sebagai sosok polisi pada masanya dengan konsdisi polisi sekarang, kita akan melihat jurang perbedaan yang jauh. Memang benar beda masa beda pula konsisinya, namun kita harus sepakat bahwa nilai-nilai yang dibawa bersifat tetap dan tidak berubah. Jurang perbedaan yang kita saksikan saat ini tidak hanya dilihat dari kondisi, suasana dan waktu, namun nilai-nilai yang stag tadi telah berubah menuju kearah “kiri”.
Media Indonesia dalam editorialnya hari ini mengklaim bahwa reformasi di tubuh Polri telah gagal. Acuannya yaitu hasil survei imparsial Jakarta yang melibatkan 500 responden. 74, 80% reponden menilai reformasi di tubuh polri gagal dengan alasan, Polri kental dengan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Media Indonesia menyebutkan, korupsi yang ada di tubuh Polri itulah yang menyebabkan reformasi tidak bisa berjalan dengan baik. Setidaknya begitulah penilaian MI berdasarkan survei imparsial dari 17 Juni-4 Juli kemarin.
Di Tempointeraktif.com Mabes Polri akan meminta konfirmasi pada pihak-pihak terkait mengenai validitas survei tersebut. Hasil survei yang menyatakan kegagalan Polri dalam mereformasi tubuh, merupakan suatu kritikan membangun yang harusnya ditanggapi positif oleh Polri dan dijadikan bahan koreksi yang berarti. Itu artinya, masyarakat merindukan sosok polisi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.
Hasil survei tersebut adalah, 61,2 persen responden, tidak puas dengan kinerja polisi. Sementara itu, 33,4 persen menyatakan puas dan sisanya, 5,4 persen menjawab tidak tahu terkait kinerja polisi. Sebesar 75,80 persen masyarakat mengungkapkan adanya korupsi polisi dalam pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM). Polisi juga dianggap terlibat dalam pungutan liar yang dilakukan di restoran dan tempat hiburan, ataupun perjudian. Jumlah penilaian masyarakat perhadap pungli polisi itu sebesar 61,60 persen. 59,20 persen menyatakan polisi terlibat dalam perdagangan narkoba. Sedangkan penyimpangan berupa penyiksaan yang dilakukan Polri saat penangkapan atau penyiksaan, dinilai masyarakat sebanyak 49,40 persen. Itulah hasil survei Imparsial dan detailnya. (sumber : kompas.com)
Jika melihat hasil survei tersebut, wajar sudah sosok Hoegeng akan terkubur dalam-dalam dari sejaran polisi bersih, karena sifat-sifatnya tidak membekas di institusi Polri saat ini. Jika Hoegeng masih ada, di era demokrasi ini, (dimana tidak ada pemasungan berpendapat), maka ia akan menangis melihat kondisi Polri yang rapuh dalamnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More