Selasa, 12 Juli 2011

Cianjur: Polisi Kembali Arogan

Kekerasan yang dilakukan kaum “Pengayom Masyarakat” kembali terjadi. Senin, 2 Mei 2011, di Cianjur, ratusan buruh yang berunjuk rasa dihantam petugas kepolisian secara membabi buta. Ada yang dipukuli, diinjak-injak, dikejar, dan dikeroyok. Sungguh tindakan ini tidak layak dilakukan oleh petugas pelindung masyarakat.

Buruh yang berdemonstrasi pada waktu itu ingin menyampaikan aspirasi dan kegundahan yang terdapat dalam hati mereka. Kegundahan akibat kesejahteraan yang tak kunjung datang menghampiri. Tenaga yang keluar saat bekerja tak seimbang dengan uang didapat dari kalangan penguasa. Keluarga yang terlantar akibat ketidakmampuan untuk membayai kebutuhan-kebutuhan primer.

Buruh memang profesi “kasar,” namun bukan berarti pekerjaan ini buruk sehingga nasib mereka tak mendapat perhitungan dari pemerintah. Memperingati hari buruh sedunia, 1 mei kemarin, atau yang biasa disebut dengan Mayday, para buruh-buruh di Cianjur menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Buapati Cianjur. Bukannya mendapat sambutan positif dari sang Bupati, tapi malah aksi brutal polisi yang mereka hadapi. Hingga beberapa dari kaum kelas ekonomi bawah tersebut menderita luka berat, dan puluhan lainnya luka ringan.

Pertanyaannya, dimanakah hati nurani pemerintah, aparat, dan pihak bersangkutan lainnya?

Polisi memang ditugaskan untuk menjaga keamanan, bukan hanya keamanan petinggi-petinggi negara, tetapi juga masyarakat yang tidak berpendidikan dan bahkan mereka yang berekonomi lemah dan mengalami kelaparan disetiap langkah hidupnya seperti para buruh yang bekerja demi segenggam kesejahteraan yang diharapkan.

Tindak brutal polisi ini tidak bisa diberi toleransi. Tindakan saling dorong antara aparat dengan demonstran merupakan dinamisasi sebuah aksi demonsrasi. Jangan lantas karena kejadian tersebut, aparat kepolisian jadi memiliki alasan untuk memukuli dan menghabisi buruh ketika berdemonstrasi. Seharusnya semua pihak paham bahwa hal tersebut dilakukan para buruh akibat cacing perut yang berteriak, atau kehormatan mereka yang terinjak-injak oleh majikan masing-masing.

Tindakan represif polisi menyebabkan kengerian baru di benak masyarakat. Belum lepas dalam ingatan, beberapa minggu lalu citra polisi agak membaik akibat pencitraan yang dilakukan oleh Briptu Norman yang berlagak seperti penyanyi India di situs Youtube. Kepolisian Gorontalo yang semula menganggap tindakan Brigadir Satu tersebut tidak sesuai dengan prosedur kerja, dan berencana menjatuhi sanksi, akhirnya diurungkan. Secara implisit dapat ditangkap isyarat bahwa, polisi ingin memperbaiki citra dengan meledaknya berita Briptu Norman ini. Polisi dicitrakan bisa tersenyum, melambaik-lambaikan tangan, dan bernyanyi, serta ramah terhadap masyarakat. Sejenak memang strategi perbaikan citra ini berhasil. Namun, sekarang ulah itu terjadi kembali. Polisi menjadi sebuah profesi ayng hanya bertugas mengikuti aturan-aturan pihak berkuasa. Sehingga, tak jarang, polisi menjadi musuh masyarakat.

Institusi keamanan ini seharusnya diberikan otonomi khusus, sehingga, mereka bisa menggunakan nurani dalam menjalankan tugas. Jika diberi otonomi sendiri, maka polisi idealnya akan menegakkan keadilan dimasyarakat, dan memberantas setiap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan majikan kepada buruhnya.

Keadaannya sekarang, polisi menjadi alat pemerintah dalam mempertahankan kekuasaan pemerintah. Bagaimana tidak, Kapolri itu dipilih oleh DPR (“Wakil rakyat”) atas rekomendasi presiden (“pemerintah/ penguasa”), jadi, wajar jika polisi pun tidak menjalankan tugasnya dengan baik sebagai pengayom masyarakat. Malah kebalikannya, polisi bertindak arogan terhadap rakyat lemah seperti yang dialami buruh-buruh Cianjur di atas. Keberingasan polisi sebenarnya tidak perlu terjadi jika pemerintah siapa menyejahterakan rakyatnya.

Salahkah demonstrasi yang dilakukan para buruh tersebut? Tentu tidak! Perlu dipahami dulu sebab musabab dan alasan demonstrasi yang terjadi tersebut. Kesewenang-wenangan majikan, dan ketidaksejahteraan yang mereka dapatkan. Penyebab tidak sejahteranya buruh itulah yang harus dijatuhi hukuman. Logikanya, mustahil hampir 300juta masyarakat Indonesia ini tidak sejahtera di Indonesia yang “kaya”.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More