Minggu, 17 Juli 2011

Kompas - Negara Bertaburan Lembaga

Indonesia bertaburan lembaga atau komisi negara. Saat ini terdapat 88 lembaga pemerintah nonstruktural, selain 34 kementerian. Jumlah itu belum termasuk 28 lembaga pemerintah nonkementerian, tim, dan satuan tugas yang dibentuk Presiden untuk menangani persoalan tertentu secara ad hoc.
Guru Besar Administrasi Negara dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sofian Effendi, dan dosen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Surabaya, Radian Salman, Sabtu (16/7), secara terpisah mengatakan, jumlah lembaga/komisi negara itu fantastis. Selain banyak, tugas sebagian komisi dan badan negara tersebut juga kemungkinan besar tumpang tindih.
Untuk penindakan korupsi, misalnya, selain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga ada Polri dan kejaksaan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga membentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum.
Dalam bidang pengembangan wilayah, selain Kementerian Dalam Negeri, ada pula Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, Badan Pengembangan Kawasan Ekonomi Terpadu, dan lebih dari 10 dewan atau badan pengembangan wilayah khusus lainnya.
Menurut Sofian, lembaga nonstruktural dan nonkementerian itu dibentuk karena fungsi pemerintahan semakin banyak. Di sisi lain, tugas pemerintahan ini tidak bisa dilaksanakan kementerian secara menyeluruh.

Ketidakpercayaan rakyat
Pada masa reformasi, ujar Radian, ketidakpercayaan masyarakat kepada lembaga pemerintah sangat tinggi. Untuk berbagai hal, diperlukan lembaga yang kredibel. Saat rakyat tak percaya pemerintahan Orde Baru bisa menegakkan dan menghormati hak asasi manusia (HAM) tinggi, Presiden Soeharto pada tahun 1993 membentuk Komisi Nasional HAM. Namun, kini lembaga yang menekuni HAM, selain Kementerian Hukum dan HAM, bahkan pernah ada Kementerian Negara HAM, juga ada Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Salah satu karakter lembaga nonstruktural/lembaga nonkementerian, lanjut Radian, adalah berkarakter keahlian yang tak dimiliki kementerian serta kenetralan. Masalahnya membesar saat pembentukan lembaga itu kian masif dan tak terkendali. Dasar hukum pembentukan lembaga tersebut juga berbeda-beda.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II DPR A Hakam Naja di Jakarta, Minggu, mengatakan, pada awalnya pembentukan lembaga nonstruktural itu dilatarbelakangi ketidakberdayaan pemerintah yang kehilangan kekuatan setelah Presiden Soeharto turun dari jabatannya pada Mei 1998. Kelemahan pemerintah tersebut memaksa DPR dan kelompok masyarakat sipil mengambil alih peran negara. Setiap ada permasalahan yang menyangkut bangsa dan masyarakat dijawab dengan membentuk komite, komisi, dewan, atau badan di luar pemerintah. Harapannya, lembaga itu dapat menyelesaikan permasalahan bangsa.
”DPR saat itu bersemangat reformasi, mendengarkan keinginan masyarakat. Pembentukan lembaga nonstruktural tersebut sulit dikendalikan,” ujarnya.
Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Ronald Rofiandri sependapat, lembaga nonstruktural dibentuk karena ketidakpercayaan rakyat terhadap lembaga negara yang ada. Lembaga nonstruktural juga dianggap sebagai solusi atas permasalahan bangsa dan macetnya sistem pemerintahan. Faktor lain adalah keterbatasan pemikiran dan imajinasi pembuat undang-undang.
”Mereka berpikir lembaga nonstruktural itu jawaban persoalan sehingga pembentukan lembaga nonstruktural menjadi prioritas yang diatur dalam UU,” ujarnya.
Ronald menengarai, pemerintah sengaja menyerahkan beban tugas dengan membentuk lembaga nonstruktural. Hal tersebut terbukti dengan adanya tumpang tindih tugas serta fungsi lembaga nonstruktural dengan lembaga struktural pemerintahan. Komisi Hukum Nasional (KHN), misalnya, dipersiapkan menjadi konsultan presiden di bidang hukum. Kenyataannya, fungsi dan peran KHN juga dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional. Presiden masih juga membentuk satgas.

Anggaran tersedot
Menurut Deputi Kelembagaan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) dan Reformasi Birokrasi Ismadi Ananda, lembaga nonstruktural dibatasi hanya pada lembaga yang dibiayai sepenuhnya dari APBN. Sebagian besar lembaga itu memang dibentuk setelah reformasi. Tiga di antaranya, Komite Inovasi Nasional, Komite Ekonomi Nasional, dan Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, baru dibentuk tahun 2011 ini.
Akibat banyaknya lembaga tersebut, anggaran negara tersedot untuk membiayai mereka. Menurut Ismadi, setiap tahun dialokasikan setidaknya Rp 38 triliun untuk 88 lembaga nonstruktural. Itu belum termasuk anggaran untuk lembaga nonkementerian, tim, dan satgas yang dibentuk belakangan.
Sekretaris Menteri Dalam Negeri Dyah Anggraeni, pekan lalu, di Jakarta, menengarai, lembaga nonstruktural itu juga dibentuk di daerah. Bahkan, sebagian besar APBD juga dialokasikan untuk gaji pegawai lembaga nonstruktural di daerah. Akibatnya, banyak daerah enggan membantu dana untuk lembaga seperti Komisi Pelayanan Publik di daerah.
Masalah serupa, tutur Sofian, pernah dialami Amerika Serikat pada era 1950-1960. Saat itu, dilakukan rasionalisasi. Soal berapa ideal jumlah lembaga nonstruktural diperkirakan tak lebih dari 20 lembaga. Apalagi, masih ada lembaga-lembaga lain.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More