Selasa, 12 Juli 2011

Kembali berkisah, Episode Ciliwung Resah

Bukan hanya aliran air kecoklatan dan tumpukan sedimen lumpur yang mendiami Pintu Air Mangarai, namun juga seorang nenek yang berumur kira-kira di atas 70 tahun. Wanita lansia ini tinggal di gubuk berukuran 1x2m yang terbuat dari tumpukan kayu dan seng yang berhasil diangkat setelah terseret air dan tersangkut di pintu air tersebut. Namun pemandangan mengiris hati terlihat, biarpun untuk makan seorang diri saja dirasa tidak cukup, namun ibu-ibu yang sudah keriput ini memiliki hati yang sangat mulia, dia masih sempat saja untuk memberi makan dua ekor kucing miliknya dengan tertatur.

Kembali berkisah, Episode Ciliwung Resah

Zaman sekarang, Jakarta adalah salah satu tempat dimana kesenjangan social sangat mudah dicari dan dilihat. Perumahan bantaran kali berdampingan hangat dengan gedong-gedong bertingkat yang seharinya bisa menghasilkan miliyaran pundit-pundi rupiah. Mobil-mobil mewah bersalaman akrab dengan bajai-bajai bersuara meraung bersopirkan orang-orang yang selalu mengangkat kaki sebelah kiri ketika mengendarai.

Kita lihat aliran sungai Ciliwung yang membelah Jakarta sebagai jalur menuju laut Jawa, sungai terhormat ini selalu membawa air bah dan sampah ke ibukota. Airnya berwarna coklat kehitaman, mengeluarkan bau-bau harum yang membuat siapapun menutup hidung ketika menciumnya. Alirannya sedang namun membahayakan siapa saja yang mau, sudi serta rela masuk kedalam airnya, mungkin Ciliwung berbisik dalam hati, “kemari kalian biar kuhanyutkan batang tubuh lemahmu itu, hahahaha…..”

Tumpukan kayu-kayu lapuk yang berdiri megah menjema menjadi bangunan-bangunan “layak huni” dan didiami oleh masyarakat kelas teri yang di dompet mereka mungkin hanya terdapat selembar uang merah bernilai bertuliskan 10.000 untuk makan selama tiga hari. Bangunan-bangunan sedih ini menjorok jauh memakan lahan Ciliwung, mungkin kayu-kayu liar ini pernah melakukan negosiasi dengan sungai Ciliwung, begini kira-kira negosiasinya:

Bangunan liar: “kami mohon Ciliwung, biarkan kami masuk kedaerahmu sedikit, berilah kami ini tempat tinggal?”

Ciliwung pun menjawab,

Ciliwung: “kenapa kau tidak minta lahan resmi dari manusia-manusia berdasi itu?”

Bangunan liar: “itu masalahnya, sudah lelah kami merengek pada mereka tentang kesusahan kami, tapi mereka hanya acuh tak acuih saja, makanya kami rela menggadaikan harga diri kami untuk meminta sedikit kemurahan hatimu wahai sungai yang telah tercemari sampah-sampaj manusia”

Ciliwung: “baiklah, saya beri kalian tempat tinggal, biarlah manusia-manusia itu yang akan merasakan akibat dari kemurahan hatiku dan penderitaan kalian wahai kayu-kayu lapuk”

Begitulah kira-kira percakapan empat mata antara bangunan liar dengan teman akrabnya sungai Ciliwung, sehingga terjadi pendangkalan sungai, sidimentasi dimana-mana, sampah bertumpukan, kayu-kayu hanyut kesungai, bakteri pembunuh memenuhi air yang mengalir dari hulu itu, hilangnya daerah resapan. Akibat terfatalnya adalah Jakarta menjadi langganan banjir setiap hujan turun……

Setelah percakapan melelahkan itu terdapat kesepakatan bagai simbiosis mutualisme bagi mereka berdua, namun bagi ibukota, ini adalah parasit yang tak kunjung bisa dibasmi.

Coba kalian dongakkan kepala kelangit nan biru yang disertai awan-awan lembut, lalu tanyalah, “salahkah consensus yang dibuat sungai dan bangunan liar itu?”

Episode kali ini memang hanya membahas sedikit masalah bangunan liar, bagaimana kelanjutan kisah perdebatan panas bangunan liar, ciliwung, sampah, proyek Banjir Kanal Timur, Pintu Air Manggarai, warga-warganya, banjir Jakarta???

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More