Kamis, 14 Juli 2011

Kompas - Menjarah Dana Proyek

Keterlaluan! Itulah reaksi spontan membaca dakwaan Mohammad El Idris, terdakwa korupsi pembangunan wisma atlet. Uang rakyat jadi rebutan!

Apa yang tertera dalam dakwaan jaksa pebisnis El Idris dalam kasus suap wisma atlet itu memang masih harus dibuktikan kebenaran hukumnya di depan pengadilan. Namun, paparan data aliran uang tersebut—yang tentunya penyidik KPK punya data—amat mencengangkan! Itu semua harus diungkap!

SEA Games Ke-26 di Jakarta dan di Palembang menjadi kehilangan legitimasi ketika terungkap bagaimana dana pembangunan wisma atlet dikorup. Dari data tersebut terungkap, hampir 20,5 persen dari dana proyek Rp 191,6 miliar atau senilai Rp 39,25 miliar dihabiskan untuk fee. Disebutkan jaksa, politikus Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, yang kala itu anggota Komisi III DPR yang membidangi masalah hukum, bisa ikut serta mengurusi proyek pembangunan wisma atlet dan memperoleh komisi 13 persen! Dana tersebut pun mengalir hingga ke daerah.

Kejadian itu menunjukkan bahwa tata aturan telah diinjak-injak. Bagaimana mungkin seorang anggota DPR yang posisinya sangat terhormat dan menjadi bendahara partai lebih banyak menjalankan peran sebagai calo anggaran atau calo proyek?

Akan tetapi, itu realitas politik Indonesia yang masih dalam proses menuju negara demokrasi yang matang. Sampai-sampai mantan Wapres Jusuf Kalla di Makassar, seperti dikutip media, berkomentar, ”Bukan Menteri Pekerjaan Umum resmi yang mengurus proyek, tetapi Nazaruddin yang menjadi menteri PU.”

Isu kebocoran dana pembangunan itu sebenarnya isu lama. Sinyalemen itu pernah diungkap begawan ekonomi Prof Sumitro Djojohadikusumo dalam Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Ke-13 di Surabaya, November 1993. Kala itu, Sumitro menyebutkan, tingkat kebocoran dana negara mencapai 30 persen. Hampir 20 tahun berlalu, kebocoran anggaran itu masih terjadi! Lalu apa yang kita dapat dan pelajari melalui gerakan reformasi tersebut?

Jika praktik yang terjadi dalam pembangunan wisma atlet itu menjadi gejala umum, bisa dibayangkan berapa triliun uang dijarah penjarah uang negara. Pemerintah memang diharapkan untuk menertibkan percaloan anggaran dan percaloan proyek itu semua, tetapi belakangan kita skeptis pemerintah mampu melakukannya.

Oleh karena itu, peran serta dunia bisnis amat diharapkan. Prinsip good corporate governance harus ditegakkan secara internal ataupun eksternal, komitmen akan pakta integritas antikorupsi harus kembali dibangkitkan. Para penyingkap aib (whistle blower) di dalam perusahaan harus dilindungi. Menunda upaya menerapkan praktik bisnis yang bersih sama halnya dengan bunuh diri pelan-pelan karena persaingan dunia bisnis tidak lagi ditentukan oleh sejauh mana pebisnis efisien dalam menjalankan usaha, tetapi seberapa banyak pebisnis menyuap birokrat untuk memenangi tender!

Reformasi Mesir Sedang Buntu

Aksi protes pecah lagi di Mesir dalam satu pekan terakhir sebagai petunjuk bahwa arah reformasi politik di negeri itu belum jelas dan sedang buntu.

Ribuan demonstran kembali berkumpul di pusat sejumlah kota, termasuk Kairo, ibu kota negara. Mereka menuntut antara lain pemecatan dari pemerintahan dan pengadilan terbuka terhadap semua loyalis mantan Presiden Hosni Mubarak. Tidak kalah kerasnya tuntutan pemecatan dan pengadilan terhadap semua perwira polisi yang dituduh melakukan kekerasan dan penembakan terhadap demonstran dalam pergolakan bulan Februari lalu, yang menjatuhkan Mubarak.

Dewan Agung Militer, yang menjadi penguasa masa transisi, benar-benar direpotkan oleh gelombang demonstrasi yang kembali membesar. Ratusan demonstran sudah memasang tenda di pusat kota Kairo. Kelihatan jelas, Dewan Agung Militer cenderung menahan diri, tak terpancing menggunakan cara represif terhadap kaum demonstran. Sebaliknya dalam upaya meredam kemarahan rakyat, Dewan memecat ratusan perwira dan personel polisi.

Sekitar 700 personel polisi yang dipecat dituduh bertanggung jawab atas kematian 848 demonstran dan mencederai sekitar 6.000 demonstran dalam kerusuhan yang menjatuhkan Mubarak tanggal 25 Februari lalu. Kasus pemecatan itu mendapat apresiasi luas karena dianggap sebagai langkah bersejarah untuk memperbaiki citra polisi, yang memang buruk di mata rakyat Mesir. Lebih jauh muncul desakan agar Kementerian Dalam Negeri, yang membidangi urusan kepolisian, dirombak total.

Tindakan pemecatan terhadap ratusan personel kepolisian ternyata tidak mengurangi secara drastis ketegangan karena Dewan Agung Militer juga menunda pelaksanaan pemilihan parlemen. Semula pemilu dijadwalkan September mendatang, tetapi kemungkinan ditunda ke bulan Oktober atau November. Penundaan tersebut disebut-sebut karena kebanyakan organisasi politik belum selesai melakukan konsolidasi menjelang pemilu.

Hanya Ikhwanul Muslimin disebut-sebut paling siap menghadapi pemilu. Rupanya Dewan Agung Militer khawatir jika Ikhwanul Muslimin, yang dikenal berhaluan militan, mendapat keuntungan dari reformasi politik, padahal kontribusinya tergolong tidak mencolok dalam upaya menjatuhkan rezim Mubarak yang otoriter.

Dewan Agung Militer memang sedang menghadapi dilema. Jelas, Ikhwanul Muslimin tidak bisa dicegah mengikuti pemilu karena tuntutan reformasi mengamanatkan proses demokratisasi yang terbuka untuk semua. Sebaliknya, jika memenangi pemilu secara demokratis, belum tentu Ikhwanul Muslimin dapat memerintah secara demokratis pula. Idealnya, kemenangan pemilu secara demokratis harus dilanjutkan dan diperkuat oleh budaya dan manajemen pemerintahan yang demokratis pula.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More