Selasa, 12 Juli 2011

Nama Baru: Ciketing

Ciketing, memang tidak terkenal. Saya pun baru pertama kali mendengar nama daerah ini dari media massa beberapa waktu lalu, ketika ada peristiwa penusukan seorang Penatua dan Pendeta dari kelompok Huria Kristen Batak Protestan oleh sekelompok orang.

Terakhir terungkap kabar, pelaku penusukan tersebut adalah kelompok orang dari Front Pembela Islam. Ketua FPI Bekasi pun akhirnya dinonaktifkan sesuai dengan ketentuan organisasi tersebut. Muharli Barda yang masuk proses hukum, harus nonaktif sampai persoalan hukumnya selesai. Muharli diduga bertindak sebagai otak dari peristiwa penusukan itu, sedangkan pelaku atau eksekutor sendiri didakwakan pada Ade Firmansyah, jemaah FPI Bekasi.

Kasus ini memang sarat akan unsur bentrok kepercayaan dan keyakinan, pasalnya, bentrokan dan penusukan itu terjadi ketika jemaat HKBP sedang berjalan menuju tempat beribadahnya di lahan kosong di Ciketing, kemudian datang sekelompok orang dan langsung melakukan penyerangan. Seketika itu juga terjadi penusukan dan pemukulan terhadap Pendeta Asia dan Penatua gereja HKBP oleh sekelompok orang yang disinyalir anggota FPI Bekasi itu.

Sebelum peristiwa itu terjadi memang ada penolakan terhadap rencana pembangunan gereja HKBP di daerah itu, namun jemaat HKBP kelihatannya tidak mengindahkan dan tetap melaksanakan ibadah, dugaan saya mungkin inilah yang melatarbelakangi peristiwa ini.

Pembangunan rumah ibadah sudah diatur dalam peraturan dua Menteri, yaitu menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Kriteria untuk mendirikan rumah ibadah sudah diatur dalam peraturan tersebut, sehingga jika ada keinginan dari agama-agama yang ada di Indonesia ini untuk mendirikn tempat ibadah, seharusnya mengacu pada aturan tersebut. Memang benar bahwa kebebasan beragama dan beribadah adalah hal yang dijamin dan dikawal oleh Undang-undang Dasar kita pasal 28 ayat 2. Namun tentu aturan dasar memiliki anak aturan yang terperinci, misalnya ya peraturan menteri tadi.

Posisi Undang-undang memang lebih tinggi tempatnya dari peraturan menteri, hal ini untuk mencegah terjadinya dua hukum dalam satu kasus. Namun, interpretasi dari undang-undang itu terdapat pada beragam peraturan lain yang ditetapkan institusi-institusi lain dan tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut.

Maka pasti sudah adil hal tersebut jika perturan ini berlaku untuk setiap agama tanpa terkecuali. Mayoritas atau minoritas dalam hal ini bukan masalah, sebab hukum memiliki sifat tidak pandang bulu. Dengan kata lain, idealnya, kelompok besar atau kecil, pasti mendapat perlakuan sama dimata hukum.

Jangan lantas apabila satu golongan merasa diberatkan atas hukum yang ditetapkan, maka peraturan tersebut harus dicabut atau direvisi. Justru ini adalah tindakan yang tidak adil bagi golongan yang lain. Jika satu kelompok merasa berat, maka kelompok lain pun otomatis pasti merasa berat, karena sifat hukum tadi yang berlaku tanpa pandang bulu.

Jika masalah ini dikaitkan dengan undang-undang dasar yang menyatakan bahwa setip warga Negara diberi kebebasan dalam beragama dan beribadah, maka untuk kasus ini tidak bisa dikaitkan dengan undang-udang tersebut. Setiap pribadi memang memiliki hak prerogatif untuk menyandang keyakinan masing-masing, namun kebebasan tersebut menjdi terbatas ketika berhadapan dengan publik. Jika setiap orang punya kebebasan, maka kebebasan-kebebasan itu akan beradu antara satu sama lain. Jalan yang ditawarkan tentunya harus ada pembatasan kebebasan-kebebasan tersebut. Batasan tersebut berupa seperangkat aturan-aturan yang ditetapkan dan disepakati bersama. Tidak ada yang diuntungkan, dan tidak ada yang dirugikan. Untuk itu sudah tepat adanya SKB Dua Menteri yang mengatur tentang pendirian rumah ibadah. Aturan inilah yang merupakan landasan dasar jika satu agama ingin mendirikan rumah ibadah.

Aturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri ini juga merupakan batasan dari kebebasan yang dimiliki setiap manusia agar tidak bertentangan satu sama lain. Jadi, SKB Dua Menteri ini bukannya menentanh Undang-undang Dasar yang menyatakan bebasa beragama dan berkeyakinan, tapi justru menjadi pelengkap dan perinci makna kebebasan yang disandangkan pada UUD tersebut.

Persoalan penusukan jemaat HKBP tidak sepenuhnya benar merupakan perkara pelarangan terhadap beragama. Adalah benar bahwa tindakan ini mungkin bermotif persoalan agama, namun harus diingat ada perkara emosi dan social di dalamnya. Jemaat HKBP tersebut bukan berasal dari daerah Ciketing, namun ingin mendirikan rumah ibadah di daerah tersebut. Inilah yang menyebabkan terjadi gesekan dengan ormas setempat yang berlainan keyakinan dengan HKBP. Peristiwa ini harus dinilai bahwa menjaga toleransi ini wajib dan tidak boleh ada tindakan kekerasan dalam keyakinan. Namun, toleransi yang diberikan juga harus berdasar pada factor-faktor pendukung lainnya yang tidak bisa dikesampingkan.

Pendirian masjid dan pusat ibadah di Gound Zero, di jantung Amerika Serikat memang dinilai kurang cocok, karena faktor keterwakilan dari keberadaan muslim di daerah itu tidak memungkinkan dan tidak memenuhi quota untuk dibngunnya rumah ibadah muslim. Saya rasa peraturan adalah peraturan, konflik memang akan terbuka lebar dan masalah ini memang sensitif.

Kebebasan beragama dan beribadah harus kita junjung tinggi, tapi ingat bahwa kebebasan tersebut memiliki batas, yaitu peraturan, ini senada dengan pernyataan Jusuf Kalla mengenai tanggapannya tentang kasus ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More